Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah dinilai kurang aktif mendorong munculnya investor lokal untuk industri pengerjaan logam, mengingat pasokan barang modal masih sangat minim.
Ketua Umum Gabungan Industri Pengerjaan Logam dan Mesin (Gamma) Dasep Ahmadi mengatakan pasar domestik untuk industri ini hanya menyumbang 10% dari seluruh kebutuhan barang modal.
“Sisanya masih impor. Makanya pemerintah perlu mendorong tumbuhnya produsen lokal,” terang Dasep kepada Bisnis.com, Selasa (18/2/2014).
Data Gamma menyebutkan, pada 2013 impor barang modal mencapai Rp70 triliun, impor barang setengah jadi hampir Rp400 triliun. Jika dibandingkan tahun sebelumnya, impor barang modal hanya Rp25 triliun.
“Tahun ini, impor barang modal diperkirakan naik 7%-8%. Saya kira, pemerintah perlu membuat terobosan baru dalam industri ini,” papar Dasep.
Dasep mengatakan minimnya barang modal dalam negeridikarenakan perusahaan yang bergerak di bidang penyedian barang modal sangat sedikit. Dia mengatakan beberapa insentif dari pemerintah bisa dijadikan pemacu agar barang modal dapat dihasilkan lebih dari banyak dari dalam negeri.
Pihaknya menuding pemerintah selama ini tidak membawa produk unggulan dalam negeri ke dunia luar. Program pemerintah untuk pengembangan industri pengerjaan logam semakin tidak terarah.
“Mestinya diteliti mengapa impor barang modal terus meningkat. Asosiasi perlu dilibatkan dalam hal ini. Bagaimana Program Program Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN) bisa berjalan dan masyarakat didorong untuk menggunakan produk dalam negeri dibandingkan produk impor,” ujarnya.
Dasep mengatakan membangun perusahaan di Indonesia membutuhkan waktu lama karena prosedurnya terlalu rumit. Selain itu, biaya yang harus dikeluarkan untuk membangun perusahaan industri logam membutuhkan dana yang tidak sedikit.
“Sangat beda dibandingkan dengan Singapura yang mudah untuk membangun perusahaan,” terangnya.
Di sisi lain, impor mesin perkakas yang menjadi bagian dari barang modal pada tahun ini diprediksi 8% dibandingkan dengan realisasi tahun lalu US$1 miliar. Dasep mengatakan perusahaan kini lebih melakukan modifikasi dan perbaikan terhadap mesin lama. Beberapa mesin diganti fungsinya dengan biaya yang lebih murah 20% dibandingkan dengan membeli mesin baru.
“Faktor pendorong kenaikan masih akan dipicu oleh sektor otomotif. Tahun ini, pemerintah gencar mengunggulkan produk mobil murah low cost and green car (LCGC),” ujarnya.
Dia menuturkan impor mesin perkakas di sektor otomotif memiliki porsi 45% dari total keseluruhan impor. Adapun, sisanya dari beberapa sektor lain seperti minyak, gas, transportasi. Selama ini, ujar Dasep, impor mesin perkakas mayoritas berasal dari Jepang dan China.
Pihaknya memaparkan impor mesin dari Eropa masih sangat kecil karena terbentur harga mahal dan teknologinya high precision. “Indonesia masih impor mesin dari Jepang karena didirong sektor otomotif yang banyak dari sana,” tuturnya.
SMETLER
Budi Irmawan, Direktur Industri Material Dasar Logam Kementerian Perindustrian, mengatakan pemerintah terus mendorong dan memprovokasi adanya smelter yang dapat memasok bahan baku untuk industri hilir agar ketergantungan impor berkurang.
“Untuk pembangunan smelter izinnya bisa ke Kementerian ESDM atau BKPM. Untuk industri kan sudah ada insentif berupa tax holiday dan tax allowance,” paparnya kepada Bisnis.
Menurutnya, smelter yang saat ini dalam proses pembangunan terdapat 11 smelter, terdiri dari satu smelter untuk baja, tiga smelter untuk tembaga, empat smelter untuk nikel dan tiga smelter untuk alumina.
“Itu masih dalam proses pembangunan. Yang lainnya, di Jogja sudah beroperasi karena sudah dibangun lama,” terangnya.
Budhi mengakui impor bahan baku logam lebih besar dari konsumsi dalam negeri. Namun demikian, ujar dia, Kemenperin optimistis bahwa pertumbuhan industri logam dari tahun ke tahun akan mengalami kenaikan.