Bisnis.com, JAKARTA - Kontribusi sektor pertanian terhadap perekonomian Indonesia cukup signifikan, terutama disumbang oleh komoditas perkebunan.Komoditas perkebunan mempunyai kontribusi besar terhadap ekspor yaitu tergolong 10 kelompok penyumbang ekspor terbesar Indonesia beserta komoditas tambang.
Kementerian Pertanian mengungkapkan selama 2013 sektor perkebunan mampu menyumbang devisa dari perolehan ekspor senilai US$21,4 miliar dengan volume sebanyak 23,3 juta ton.
Dari perolehan tersebut subsektor perkebunan dari segi volume terhadap total ekspor pertanian memberikan kontribusi 97,7% dan dari segi nilai sebanyak 96,3%. Pada 2013 total ekspor komoditas pertanian mencapai 23,89 juta ton dengan nilai US$22,2 miliar dolar AS.
Data BPS yang diolah Ditjenbun menyebutkan sejumlah indikator makro subsektor perkebunan, hingga triwulan III 2013, pertumbuhan PDB perkebunan mencapai Rp132 triliun.
Kontribusi ekspor sektor perkebunan masih berasal dari perkebunan sawit. Selama 2013, ekspor produk sawit nasional, berupa minyak sawit mentah (CPO) dan kernel (PKO) serta produk turunannya mencapai 21,2 juta ton, naik 16% dibandingkan dengan 2012 yang tercatat 18,2 juta ton.
Sementara itu produksi CPO dan turunannya pada 2013, diprediksi mencapai 26 juta ton atau turun 1,9 persen dibandingkan dengan 2012 yang sebanyak 26,5 juta ton.
Prospek industri sawit nasional pada 2014, masih memiliki prospek cukup cerah dan menjanjikan. Hal ini terkait kebijakan pemerintah meningkatkan konsumsi biofuel di dalam negeri.
Pemerintah menargetkan ekspor crude palm oil (CPO) turun menjadi tinggal 50% dari produksi total CPO nasional. Targetnya, produksi CPO bisa fifty-fifty dibandingkan industri hilir turunannya.
Pemerintah harus memikirkan perangkat apa yang akan digunakan agar produk olahan minyak sawit mentah dapat diserap pasar. Misalnya produk turunan olein.
Selain sawit adalah komoditas kakao. Namun nilai ekspor kakao Indonesia masih didominasi oleh biji kakao mentah. Pemerintah harus mendorong terjadinya hilirisasi atau peningkatan nilai tambah komoditas kakao.
Dengan demikian diharapkan daya saing komoditas kakao Indonesia akan terus meningkat. Tahun 2002 sampai dengan 2011 daya saing kakao Indonesia masih cukup bagus, terbukti ratarata Revealed Competitive Advantage (RCA) di atas 4.
Demikian juga dari hasil Indeks Spesialisasi Pasar (ISP) rata-rata mendekati 1 yang berarti spesialisasi Indonesia merupakan negara pengekspor.
Sementara itu, Indeks Konsentrasi Pasar (IKP) diperoleh rata-rata kurang dari 0,35 yang berarti kerentanan terhadap negara tujuan ekspor kakao relatif kecil. Untuk mendorong nilai tambah kakao diperlukan kebijakan fiskal berupa penerapan bea keluar berjenjang, subsidi ke petani, perbaikan infrastruktur serta riset dan pengembangan kakao nasional.
Selama ini hilirisasi di sektor pertanian masih terbatas seperti aturan PMK No. 67/PMK.011/2010 untuk mendorong hilirisasi di sektor perkebunan seperti kelapa sawit dan kakao. Selama ini implementasi dari regulasi terbukti dapat mendorong peningkatan produk hilir di sektor kelapa sawit dan kakao.
Sementara itu, komoditas teh, kopi dan karet semakin menghadapi tekanan. Kementerian Pertanian menyebutkan ekspor teh masih cukup besar meski produksi menurun.
Sementara itu, komoditas kopi terus tertekan oleh harga di pasar global. Harga kopi di pasar internasional pada tahun 2013 rata-rata turun 50% menjadi US$3-US$4 per kilogram (kg), meski secara volume ekspor mengalami peningkatan hingga 5% dari realisasi 2012 sebanyak 530.000 ton.
Demikian pula dengan kopi yang mengalami penurunan harga sejak 2011. Sedangkan pada 2010 harga kopi mencapai level tertingginya selama 24 tahun terakhir.
Anjloknya harga kopi sangat berdampak terhadap kesejahteraan petani. Meski demikian, penurunan harga juga terjadi pada komoditas perkebunan akibat imbas kondisi ekonomi global.
KOMODITAS KARET
Hilirisasi yang lemah juga terjadi dalam produk karet. Padahal Indonesia merupakan produsen karet alam nomor dua di dunia. Sarana infrastruktur dan pendukung lainnya belum tersedia secara baik. Hasil alam itu hilang nilai tambahnya jika tidak ada industri pendukungnya.
Belum optimalnya hilirisasi produk karet tidak hanya berdampak buruk bagi pengusaha tetapi juga petani rakyat. Sehingga, petani rakyat belum menikmati harga sesungguhnya dari harga jual di dalam maupun luar negeri.
Mereka sepanjang masa akan bergantung pada tengkulak. Akibat lainnya, petani menjadi frustasi sehingga mereka bertindak curang dalam menjual bahan olahan karet (Bokar). Alhasil, petani memasukkan tanah, batu, kayu kedalam getah yang berfungsi sebagai pemberat.
Ekspor beberapa komoditas pertanian dan perkebunan masih dalam bentuk mentah sehingga kondisi tersebut kurang optimal bagi perekonomian.
Apabila komoditas pertanian di olah lebih lanjut menjadi produk olahan (produk hilir) kemudian diekspor, maka kondisi tersebut akan meningkatkan nilai tambah ekspor Indonesia jauh lebih tinggi. Dengan mendorong industri hilir berbasis produk pertanian selain untuk memperoleh nilai tambah, juga dimaksudkan untuk menampung migrasi tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, dalam kurun Februari 2012 hingga Agustus 2013, tenaga kerja sektor pertanian berkurang hingga 3 juta orang lebih. Dalam kurun waktu yang sama, tenaga kerja di sektor industri bertambah, meskipun hanya 600.000 orang.
Negara yang sedang mengalami bonus demografi berupa pertumbuhan kelas berpendapatan menengah seperti Indonesia juga akan sangat diuntungkan dengan adanya industri hilir yang kuat.
Populasi kelas berpendapatan menengah merupakan pasar dengan daya serap yang tinggi bagi produk industri hilir dari mulai peralatan kebutuhan rumah tangga, produk makanan dan minuman sampai dengan produk kendaraan bermotor.
Dengan demikian, pasar domestik tersebut berfungsi sebagai alternatif engine of growth ketika pasar ekspor sedang mengalami kelesuan akibat dari perlambatan ekonomi global.
Manfaat selanjutnya dari mengembangkan industri hilir yang kuat di sektor pertanian adalah meningkatkan daya saing industri pertanian kita di tingkat regional Asean dan global.
Dengan sumber daya alam yang berlimpah sebagai sumber bahan baku maka seharusnya industri berbasis agro di Indonesia mempunyai competitive advantage dalam hal biaya produksi.
*) Ketua DPP PPP