Bisnis.com, JAKARTA—Para pelaku usaha mengkhawatirkan terjadinya kesalahan dalam proses pengawasan terhadap implementasi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No.70/2013 akibat kurangnya sosialisasi terhadap maksud dan pengertian dari peraturan tersebut.
Wakil Sekjen Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Satria Hamid menyarankan agar pengawas lapangan memahami implementasi Pasal 22 dari Permendag tersebut secara mendetail. Kurangnya pemahaman, menurutnya, dapat berdampak merugikan bagi pengusaha ritel.
“Kami khawatir teman di lapangan melakukan sidak dan pengawasan, lalu menganggap kami tidak memenuhi peraturan yang [mengharuskan] 80% [produk lokal], padahal sudah. Misalnya Coca Cola atau Pepsi, mereknya asing tapi diproduksi di sini, berarti itu lokal,” ujarnya.
Di dalam Permendag No.70/2013 Pasal 22 disebutkan bahwa pusat perbelanjaan dan toko modern wajib menyediakan barang dagangan produksi dalam negeri paling sedikit 80% dari jumlah dan jenis barang yang diperdagangkan.
“Kami sudah melakukan sosialisasi pada anggota [Aprindo], tapi domain pengawasan bukan ada pada kami, tapi pada dinas yang merupakan kepanjangan tangan dari kementerian. Dinas belum siap dan memahami esensi Permendag 70. Enam bulan sejak diundangkan, seharusnya ada sosialisasi dari mereka, tapi belum,” lanjutnya.
Menurut Satria, hingga saat ini belum ada aparat yang melakukan sosialisasi langsung di tingkat daerah. Hal tersebut berpotensi merugikan para pengusaha ritel di daerah, karena kurangnya pengetahuan dinas terkait pelaksanaan Permendag tersebut.
“Verifikasi 80% itu [berdasarkan] apa, hitungannya bagaimana. Di toko itu kan barangnya banyak, apa mau dihitung satu per satu? Apakah hanya dilihat kasat mata saja? Bagaimana dengan produk elektronik yang hanya dicap?” ungkapnya.
Di lain pihak, Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Srie Agustina mengaku telah mengadakan sosialisasi bagi dinas-dinas di daerah. Dinas Perdagangan di DKI Jakarta, lanjutnya, juga telah siap melakukan pengawasan ketat, khususnya bagi produk minuman beralkohol di mini market.
“Pengawasannya seperti pengawasan barang dan jasa. Jadi kami minta laporan, berapa penjualannya, berapa rata-rata stock keeping unit [SKU]-nya, dan berapa produksinya,” jelas Srie pertengahan pekan lalu.
Dari segi metode, dia mengatakan Dinas Perdagangan akan menggunakan cara sampling. Selain alasan efisiensi, cara samplingdilakukan karena setiap gerai pengecer memiliki standar yang sama di semua daerah.
“Pengawasannya mudah. Dari 735.000 gerai toko modern, sekitar 18.000-nya adalah minimarket, dan 16.000 di antaranya dikuasai Alfamart dan Indomaret. Kalau kami awasi satu gerai, pasti gerai lain akan relatif sama modelnya. Jadi kami pakai sampling saja nanti. Yang melakukan pengawasan nanti Dinas Perdagangan di daerah,” ujar Srie.
Untuk memastikan setiap pengawas memahami benar makna dan implementasi dari Permendag yang dimaksud, Kemendag akan membentuk forum komunikasi (forkom) di pusat dan di daerah.
Srie mengatakan Kemendag akan segera menerbitkan pengarahan (guidance) tentang Permendag No.70/2013, yang disalurkan kepada 3 tim, yaitu tim pengawas, tim penilai, dan tim forkom.