Bisnis.com, JAKARTA - PT Pertamina (Persero) menginginkan penaikan harga liquefied petroleum gas (LPG) tabung 12 kilogram secara bertahap dan otomatis, seperti tarif tenaga listrik (TTL) untuk golongan tertentu yang ditetapkan pemerintah.
Gigih Wahyu Hari Irianto, Vice President LPG & Gas Product Pertamina, mengatakan pihaknya sudah mengirimkan surat kepada pemerintah terkait usulan harga LPG 12 Kg. Dengan begitu, perseroan dapat mengurangi kerugian dari bisnis produk nonsubsidi tersebut.
“BUMN [Badan Usaha Milik Negara] sesuai UU kan tidak boleh rugi, maka kami wajib mengajukan usulan penaikan harga LPG 12 Kg. Kami ingin seperti TTL yang naiknya secara bertahap dan otomatis,” katanya di Jakarta, Minggu (26/1/2014).
Gigih menuturkan saat ini pihaknya melakukan kajian penaikan harga LPG 12 Kg secara bertahap hingga 2016. Harapannya, pada 2016 perseroan sudah dapat menjual komoditas tersebut dengan harga keekonomiannya.
Menurutnya, penaikan harga tersebut bukan untuk meningkatkan keuntungan Pertamina dari bisnis LPG. Akan tetapi, agar sesuai dengan aturan dan rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang merekomendasikan perseroan menaikkan harga LPG 12 Kg dengan mempertimbangkan harga patokan, kemampuan daya beli masyarakat, dan kesinambungan penyediaan LPG itu.
Sementara itu, Susilo Siswoutomo, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mempersilakan Pertamina mengajukan usulan penaikan harga LPG 12 Kg. Pemerintah akan mengkaji hal tersebut dan menyesuaikannya dengan kondisi masyarakat saat ini.
“Silakan saja kalau ingin mengajukan usulan penaikan harga LPG 12 Kg lagi, tetapi kan belum tentu disetujui,” katanya.
Pada 1 Januari 2014, Pertamina menaikkan harga LPG 12 Kg senilai Rp3.500 per Kg, tetapi pada ^ Januari 2014 direvisi menjadi hanya Rp1.000 per Kg. Revisi penaikan harga itu pun menggerus target pertumbuhan laba bersih Pertamina menjadi hanya 5,65% dari target pada 2014 yang dipatok 13,17%.
Karen Agustiawan, Direktur Utama Pertamina, sebelumnya mengatakan revisi penaikan harga Elpiji 12 Kg menjadi Rp1.000 per Kg dari yang sebelumnya Rp3.500 per Kg, menyebabkan kerugian hingga Rp5,4 triliun sepanjang tahun ini dengan asumsi kurs Rp10.500 per dolar Amerika Serikat (AS).