Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

YLKI: Sosialisasi Minim, SJSN Rawan Konflik

Penyelengaraan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang merupakan pelaksanaan program Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) di bidang kesehatan oleh Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan per 1 Januari 2014 dinilai bakal rawan konflik lantaran minimnya sosialisasi.
Belum semua rumah sakit pemerintah siap melaksanakan BPJS. Apalagi, rumah sakit-rumah sakit di daerah. /bisnis.com
Belum semua rumah sakit pemerintah siap melaksanakan BPJS. Apalagi, rumah sakit-rumah sakit di daerah. /bisnis.com

Bisnis.com, JAKARTA - Penyelengaraan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang merupakan pelaksanaan program Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) di bidang kesehatan oleh Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan per 1 Januari 2014 dinilai bakal rawan konflik lantaran minimnya sosialisasi.

Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi mengatakan sosialisasi pelaksanaan program SJSN oleh BPJS Kesehatan kepada masyarakat masih sangat minim sehingga implementasi di lapangan bakal rawan konflik.

"Pemerintah harus melakukan sosialisasi yang sangat masif terkait BPJS itu, supaya masyarakat lebih mengetahui dan memahaminya," ujarnya, saat dihubungi Bisnis,Rabu (15/1/204)

Menurut Tulus, saat ini masih banyak pihak yang belum mengerti apa itu BPJS, terutama seperti keberadaan BPJS itu sendiri, kemanfaatannya bagi masyarakat, sistem atau cara kerjanya, bagaimana mekanisme kepesertaannya, seberapa besaran premi yang harus disetorkan, dan lain sebagainya.

“Sosialisasi yang masif seharusnya dilakukan jauh-jauh hari sebelum disahkan menjadi sebuah kebijakan, oleh pemerintah, sehingga sudah paham dan siap menyambut program baru yang sebenarnya tujuannya cukup mulia tersebut," tuturnya.

Tulus mengatakan selama ini pengetahuan masyarakat masih terbatas pada Askes, Jamsostek, atau asuransi-asuransi lainnya. “Sedangkan BPJS masih menjadi 'barang' yang sangat baru, dengan sistem yang sangat baru pula. Dan hal inilah yang belum ditangkap masyarakat dengan baik.”

Selain masih minimnya sosialisasi, besaran iuran premi kepesertaan juga dinilai masih sangat kecil oleh para dokter, sehingga remunerasi atau pembayaran kepada dokter juga menjadi sangat kecil.

“Hal ini pada akhirnya berpotensi menimbulkan ketidakmaksimalan atau rendahnya tingkat pelayanan dari para dokter maupun rumah sakit kepada masyarakat pengguna BPJS. Dan ini tentu berbahaya," ujarnya.

Saat ini pemerintah telah menetapkan besaran iuran premi kepesertaan BPJS Kesehatan bagi pekerja informal sebesar Rp25.500/bulan untuk layanan rawat inap kelas III, dan Rp42.500/bulan untuk kelas II, serta Rp59.500/bulan untuk layanan kelas I.

Tulus menambahkan belum lagi terkait kesiapan infrastruktur rumah sakit, terutama rumah sakit pemerintah yang menurut pantauannnya belum siap semua melaksanakan BPJS. Apalagi, rumah sakit-rumah sakit di daerah.

“Di bandingkan di daerah, saat ini kalau di kota-kota besar kemungkinan besar, banyak rumah sakit yang sudah mulai mempersiapkan diri," ujarnya.

Disamping itu, lanjutnya masih sedikitnya jumlah dokter dan keberadaannnya yang belum tersebar merata di seluruh wilayah Indonesia.

Menurutnya, kurangnya dokter yang merata tersebut dapat berbahaya, apalagi sebagian besar para dokter, terutama spesialis, biasanya terkonsentrasi di kota-kota besar. “Karena mereka hanya mau praktek di ibukota provinsi," tuturnya.

Dia menyarankan sebaiknya kementerian terkait harus mempersiapkan strategi yang tepat dalam rangka mengatasi potensi terjadinya permasalahan tersebut, dengan melakukan aksi jemput bola ke lapangan, seperti membuka dialog atau pengaduan yang bisa diakses oleh masyarakat.

Dengan begitu, lanjutnya dapat segera dilakukan evaluasi beserta tindakan yang tepat guna mencapai target kepuasan atas pelayanan BPJS ke depan.

Pemerintah, selama lima tahun pertama, semenjak pemberlakukan BPJS per 1 Januari 2014, menargetkan pencapaian minimal 75% tingkat kepuasan masyarakat atas pelayanan BPJS, dan juga minimal 65% bagi tenaga dan fasilitas kesehatan yang menyatakan puas mendapatkan pembayaran layak dari BPJS.

Sedangkan sasaran untuk 2019 ditargetkan minimal 85% peserta menyatakan puas, dan 80% tenaga dan fasilitas kesehatan menyatakan puas mendapatkan pembayaran yang layak dari BPJS.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Fatkhul Maskur
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper