Bisnis.com, JAKARTA—Seiring dengan diberlakukanya pajak penghasilan (PPh) pasal 22 impor, Ditjen Pajak menilai kebijakan tersebut tidak akan berdampak signifikan terhadap penerimaan pajak pada tahun depan.
Direktur Peraturan Perpajakan Ditjen Pajak John Hutagaol mengatakan setidaknya ada dua faktor mengapa kebijakan tersebut relatif tidak berefek signifikan terhadap penerimaan pajak. Pertama,jenis barang atau cakupannya sangat terbatas.
Menurutnya, jumlah jenis barang konsumsi rumah tangga impor yang terkena pengenaan PPh pasal 22 relatif sedikit dibandingkan dengan seluruh jenis barang impor yang ada. Penaikan tarif ini berlaku untuk empat kelompok barang yang mencakup 870 pos tarif (harmonized system).
“Hal itu juga semakin terbatas dengan pengecualian terhadap barang yang sensitif terhadap inflasi dan barang yang dikategorikan sebagai bahan baku [capital goods] dan bahan penolong [intermediate goods],” ujarnya, Senin (09/12/2013).
Sekedar informasi, realisasi penerimaan pajak dari PPh pasal 22 impor sebesar Rp32,78 triliun, atau 76,77% dari target APBNP-Perubahan 2013 sebesar Rp42,70 triliun. Target tersebut hanya menyumbang 4,63% dari target penerimaan pajak Ditjen Pajak Rp921 triliun.
Faktor kedua, sifat pembayaran pajak tersebut merupakan prepaid tax alias pajak yang dibayar di muka, yang kemudian akan diperhitungkan sebagai pengurang terhadap PPh terutang dalam surat pemberitahuan (SPT) oleh wajib pajak badan di akhir tahun.
“Jadi memang pengaruhnya terhadap kinerja penerimaan pajak tidak terlalu signifikan dengan adanya kebijakan ini. Selain itu, apabila terjadi kekurangan penerimaan akibat kebijakan itu, masih bisa ditutupi dengan potensi-potensi penerimaan pajak lainnya,” ujarnya.
Sejalan dengan itu, penghapusan pajak pertambahan nilai (PPN) akibat pembebasan bea masuk dari fasilitas kemudahan impor tujuan ekspor (KITE) dinilai dapat berdampak positif terhadap kinerja Ditjen Pajak.
Dari 5.000 pemeriksa Ditjen Pajak, John mengaku sebagian besar pemeriksa tersebut menghabiskan energinya untuk mengelola administrasi PPN. Artinya, dengan penghapusan PPN tersebut akan juga mengurangi biaya administrasi dan biaya komplain wajib pajak.
“Sebagian besar pemeriksa iu habis energinya mengerjakan yang namanya lebih bayar, dan hasilnya tidak begitu banyak dibandingkan dengan jika kami mengarahkan energi ke potensi lainnya seperti SPT kurang bayar atau lain sebagainya,” katanya.
Seperti diketahui, pemerintah menargetkan penerimaan pajak nonmigas yang lebih realistis pada APBN 2014 yakni Rp1.034,1 triliun, atau naik 12,26% dari target penerimaan pajak Rp921 triliun, dengan kondisi kapasitas Ditjen Pajak yang ada.
Persentase kenaikan tersebut jauh lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata kenaikan tahun-tahun sebelumnya sekitar 19,19%. Target kenaikan penerimaan pajak nonmigas 2014 tersebut, menjadi persentase kenaikan terendah sejak 2010 yang lalu yakni 3,38%.