Bisnis.com, JAKARTA – Pelaku usaha pengolahan daging menilai jika impor sapi dari Australia dihentikan akibat insiden penyadapan bisa berdampak besar terhadap industri maupun kebutuhan protein bagi generasi Indonesia.
Ketua Asosiasi Industri Pengolahan Daging Indonesia (Nampa) Ishana Mahisa mengatakan selain industri kekurangan bahan baku, keterbatasan impor sapi bisa membuat harga daging sapi naik dua kali lipat.
Seperti diketahui, Kementerian Perdagangan saat ini tengah mengkaji penghentian impor sapi dan daging sapi dari Negeri Kanguru itu.
“Dampaknya bisa luar biasa, konsumsi daging per kapita kita akan semakin turun, yang kasihan nanti generasi kita berikutnya karena butuh protein untuk pertumbuhan otak,” katanya kepada Bisnis.com, Minggu (24/11/2013).
Konsumsi daging sapi saat ini diketahui rata-rata hanya 2 kg per kapita/tahun dan daging ayam 7 kg per kapita/tahun. Padahal, diharapkan konsumsi daging masyarakat Indonesia bisa mencapai 20 kg per kapita/tahun.
Selama ini 85% kebutuhan sapi bagi industri maupun konsumen ditopang oleh importasi dari Austalia (sapi), Selandia Baru (daging sapi), dan Amerika (daging dan jeroan sapi), sedangkan sisanya suplai dari dalam negeri.
Berdasarkan sensus Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2011 populasi sapi di Indonesia hanya 16,7 juta, dan pada Mei 2013 menjadi 14,2 juta ekor.
“Kabarnya nanti kuota sapi akan dikurangi 2,7 juta, apa tidak semakin terbatas dan bisa dibayangkan harga daging di pasar biasa akan semakin mahal, apalagi kami tidak bisa impor selain dari Australia, Selandia Baru dan Amerika,” ujar Ishana.
Ishana mengungkapkan, sebelumnya Indonesia pernah memberlakukan peraturan yang berisi agar tidak mengimpor sapi dan memperbesar kuota sapi dalam negeri.
Namun, ketika impor sapi Australia dibuka kembali, harga sapi naik drastis dalam waktu 2 bulan yang sebelumnya US$2,3 per kg menjadi US$3 per kg.
“Hukum suplai dan demand di Australia juga sama seperti di sini,” katanya.
Dia mengatakan apabila impor sapi Australia dihentikan, pemerintah harus mengkaji kembali peraturan Kementerian Pertanian yang membatasi impor sapi dari negara tertentu, atau membuka keran impor sapi dari negara potensial seperti India dan Brazil.
“Ada 180 negara yang menggunakan sapi dari Brazil,” imbuh Ishana.
Selain itu, pemerintah seharusnya mencari solusi dengan mencari bahan baku yang murah agar bisa diolah dan menjadi nilai tambah bagi pasar ekspor terutama untuk kawasan Asean yang sebentar lagi berlaku pasar bebas. (ra)