Bisnis.com, JAKARTA - Nippon Asahan Aluminium (NAA) Jepang mengajukan beberapa hal untuk disikapi oleh Pemerintah Indonesia terkait dengan nilai dan pembayaran kompensasi pengambilalihan PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum).
Namun, Menteri Perindustrian MS Hidayat enggan membeberkan perihal itu. Dia tidak bisa membocorkan hal-hal apa saja yang diinginkan oleh pihak Jepang tersebut.
Perlu diketahui, setelah mengajukan jalan arbitrase untuk penyelesaian pembayaran kompenasi pengambilalihan Inalum, pihak NAA Jepang menyatakan masih ingin berdialog dan berdiskusi agar jalan arbitrase tidak perlu dilakukan.
“Kami bicara lewat teleconference, kami berdialog intensif untuk mencari cara terakhir agar tidak melalui arbitrase. Kita sepakat kalau masih ada celah agar semua bisa kembali seperti semula (tanpa arbitrase). Dalam dialog tadi mereka mengajukan beberapa hal untuk disikapi, kita sudah membalas,” kata Hidayat di kantor Kemenperin, Rabu (6/11).
Menurutnya, pihak NAA Jepang tidak ingin semua hasil negosiasi diungkapkan kepada publik ssebelum mencapai titik temu atau kesepakatan. “Ini semua untuk kepentingan bersama. Ya intinya ada yang belum putus kemarin dibicarakan lagi, mereka mengajukan beberapa hal, kami beri argumentasi, kemudian mereka merespon,” tambahnya.
Ketika ditanya apakah beberapa hal tersebut merupakan persyaratan yang diminta oleh Jepang, Hidayat tidak menanggapinya. Yang pasti, dialog ini diperkirakan hanya berlangsung selama satu-dua minggu. “Ini hanya soal kompensasi yang belum dibayarkan.”
Per 1 November 2013, lanjut Hidayat, Jepang belum mendaftarkan persengketaan ini ke pengadilan arbitrase. Dia berpandangan Jepang memang masih ingin menyelesaikan dengan jalan negosiaasi.
Namun, Pemerintah Indonesia juga mempersiapkan diri untuk melaksanakan perjanjian melalui jalur arbitrase. Menurutnya, meskipun pihaknya menaruh harapan besar penyelesaian ini bisa diselesaikan tanpa arbitrase, pemerintah Indonesia juga harus siap dengan segala kemungkinan yang akan terjadi.
Adapun secara hukum, PT Inalum sudah beralih kepemilikan menjadi 100% milik Pemerintah Indonesia. Hanya masalah nilai dan pembayaran kompensasi yang belum diselesaikan.
Menurut Hidayat, hingga kini pemerintah belum membayarkan dana kompensasi kepada pihak NAA Jepang. “PLTA kan seharusnya dibayar 1 November, kita mau bayar, mereka punya opsi dirundingkan. Pembayaran masih dalam proses,” ujarnya.
Sebelumnya, NAA mengajukan permintaan penyelesaian ke pusat arbitrase internasional tersebut karena ingin menetapkan kompensasi US$558 juta sebagai nilai final. Sedangkan pemerintah Indonesia berkeras pembayaran kompensasi harus melalui proses audit.
Pada sisi lain, kata Hidayat, manajemen direksi belum ditentukan lantaran rapat umum pemegang saham (RUPS) belum digelar. “Ya belum, sekarang di bawah kementerian BUMN dahulu.”