Bisnis.com, MEDAN - Jenderal TNI (Purn) Luhut Pandjaitan adalah seorang jenderal bintang empat Komando Pasukan Khusus Angkatan Darat (Kopassus AD) ini sangat menginginkan untuk mengakuisisi saham PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum).
Jenderal yang pernah menjabat sebagai Menteri Perindustrian dan Perdagangan pada periode Presiden Abdurrahman Wahid ini menuturkan keinginan untuk mengakuisisi saham PT Inalum agar menjadi model bagi perusahaan-perusahaan konsesi asing di Tanah Air.
Jika format akusisi yang terjadi pada PT Inalum berhasil dengan baik, dia berharap perusahaan-perusahaan asing seperti PT Freeport Indonesia, PT Newmont Nusa Tenggara dan Blok Mahakam dapat kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi.
Melalui perusahaan yang didirikannya, PT Toba Sejahtra, Luhut membuat nota kesepahaman atau MoU (memorandum of understanding) dengan Pemerintah Daerah Sumatra Utara untuk mengelola Inalum. MoU tersebut berupa pembentukan perusahaan patungan dengan pihak Toba Sejahtra akan mendanai sejumlah kebutuhan akuisisi dan pengembangan Inalum.
"Kami sudah mengerjakan dengan pak Bambang Irawan -Direktur Grup Toba Sejahtra- sejak 3 tahun yang lalu. Bahkan waktu saya Menteri Perindustrian dan Perdagangan, saya melihat ada yang kurang beres dengan Inalum," ungkapnya kepada Bisnis, Jumat (1/11/2013).
Dia menilai ketidakberesan pada PT Inalum terjadi pada perjanjian antara pemerintah dan Jepang. Saat dirinya menjabat sebagai Menperindag, dia membuat tim khusus untuk melakukan evaluasi Inalum.
Menurutnya, perjanjian antara Indonesia-Jepang pada PT Inalum sama sekali tidak menguntungkan Indonesia. Pada pembukuan Inalum saat dirinya menjabat sebagai Menperindag 2002-2003 misalnya, Inalum sama sekali tidak memperoleh keuntungan.
Keuntungan Inalum, sambungnya, baru terjadi pada 3 tahun terakhir. Padahal perusahaan itu sudah beroperasi selama kurang dari 30 tahun.
Keuntungan itu, kata dia, seharusnya tidak hanya bagi pemerintah pusat. Namun, pemerintah daerah sebagai lokasi berdirinya pabrik Inalum juga harus memperoleh keuntungan.
Pria Batak kelahiran Simanggala, Tapanuli pada 28 September 1947, ini menilai setidaknya terdapat 9 kabupaten di wilayah operasional PT Inalum yang masuk ke dalam peta kemiskinan. Pendapatan Asli Daerah (PAD) di kabupaten-kabupaten tersebut hanya sekitar Rp5 miliar- Rp10 miliar.
"Menurut saya tidak adil juga saat harga timah hampir US$3.000-US$4.000, Pemda tidak menikmati margin-nya," kata dia.
Kemudian, lanjutnya, Inalum memproduksi listrik sebesar 600 Megawatt dengan harga Rp100 per kWh. Padahal bila dijual kepada PLN bisa menguntungkan setidaknya US$5 sen, dan seharusnya Pemda menikmati hasil tersebut.
Akan tetapi yang terjadi adalah listrik di Sumut selalu byar-pet seperti layaknya meminum obat hingga 3 kali sehari. Untuk itu, dia menilai terdapat sesuatu yang tidak berimbang.
"Oleh Pak Bambang dipelajarilah master of agreement secara detil, segala macam peraturan-peraturan yang itu kita tau sepakat 31 Oktober 2013 habislah kontrak itu. Dan 1 November 2013 secara resmi Inalum sudah kembali ke tangan Indonesia, yang 58,88% sudah milik Indonesia," tegasnya.
PT Indonesia Asahan Aluminium yang lebih akrab disebut PT Inalum, secara resmi menjadi milik Indonesia pada 1 November 2013 setelah 30 tahun dikuasai oleh Jepang.
Pihak Jepang diwakili oleh perusahaan konsorsium Nippon Asahan Aluminium (NAA) yang beranggotakan Japan Bank for International Cooperation (JBIC) yang mewakili pemerintah Jepang 50%, dan sisanya oleh 12 perusahaan swasta Jepang.
12 perusahaan tersebut adalah Sumitomo Chemical Company Ltd., Sumitomo Shoji Kaisha Ltd., Nippon Light Metal Company Ltd., C Itoh & Co., Ltd., Nissho Iwai Co., Ltd., Nichimen Co., Ltd., Showa Denko K.K., Marubeni Corporation, Mitsubishi Chemical Industries Ltd., Mitsubishi Corporation, Mitsui Aluminium Co., Ltd., dan Mitsui & Co., Ltd.
Perbandingan saham antara pemerintah Indonesia dan NAA pada saat perusahaan didirikan 6 Januari 1976 adalah saham pemerintah sebesar 10% dan saham NAA 90%. Pada Oktober 1978, perbandingan tersebut menjadi 25% dan 75% dan sejak Juni 1987 menjadi 41,13% dan 58,87%. Sejak 10 Februari 1998 menjadi 41,12% dan 58,88%.
Sejauh ini pemerintah telah bernegosiasi dengan pemegang saham NAA sebesar 58,88%. Berdasarkan perjanjian RI-Jepang pada 7 Juli 1975, kontrak kerja sama pengelolaan Inalum berakhir 31 Oktober 2013.
Proses negosiasi berlangsung cukup alot. Hingga tenggat waktu yang ditentukan 31 Oktober 2013 belum mencapai titik temu. Pemerintah telah menawarkan pengambilalihan PT Inalum dari NAA senilai US$558 juta sebagai angka prediksi 31 Oktober 2013. Nilai tersebut meningkat dari sebelumnya US$453 juta pada 31 Maret 2013.