Bisnis.com, JAKARTA – Pelaku industri furnitur dan penghasil bahan baku rotan berkolaborasi untuk mencari kesepakatan harga bahan baku rotan sebagai upaya mencapai target pertumbuhan industri 25% per tahun mulai 2014.
Sekjen Asosiasi Mebel dan Kerajinan Rotan Indonesia (AMKRI) Abdul Sobur mengatakan kesepakatan harga jual bahan baku dari petani hingga pengepul akan dicapai dalam Dialog Nasional dan Pembentukan Lembaga Kolaborasi Nasional Pengembangan Rotan Ramah Lingkungan yang digelar selama 2 hari di Jakarta.
“Kami [pengolah] bernegosiasi dengan mereka [penghasil bahan baku] agar terjadi keseimbangan untuk menentukan patokan harga dalam negeri, karena tidak boleh terlalu murah dan tidak juga terlalu mahal,” katanya di sela-sela dialog, di Kantor Kemenperin, Selasa (29/10/2013).
Sobur menjelaskan selama ini yang membuat industri furnitur kurang kompetitif yakni karena harga bahan baku rotan dalam negeri sangat mahal. Hal tersebut dikarenakan panjangnya rantai distribusi bahan baku dari petani sampai pengepul serta sistem logistik yang mahal. “Seharusnya bisa lebih efisien,” katanya.
Dia mengungkapkan harga bahan baku rotan ekspor saat itu US$1 per kg, sedangkan harga jual bahan baku di sentra perajin furnitur di Cirebon, Surabaya, dan Solo bisa mencapai Rp13.000-Rp170.000/kg dari beragam jenis rotan.
Padahal, katanya, harga bahan baku rotan dari daerah penghasil seperti Palu Sulawesi Tengah hanya sekitar Rp4.000/kg.
“Nah ini yang harus dijembatani supaya pekerjaan mereka [penghasil/pengepul rotan] tetap berjalan, dan hasil produk jadi bisa kompetitif. Terlebih setelah ada kebijakan setop ekspor bahan baku untuk mendukung hilirisasi,” ujarnya.
Menurut Sobur, kebijakan pemerintah yang telah dibuat cukup mendukung pertumbuhan industri ini.
Salah satunya penghentian eskspor bahan baku rotan yang mampu membuat industri furnitur berbasis rotan ini tumbuh 80% dan penerapan sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK).
“Tapi produk rotan kan hanya berkontribusi 15% dari keseluruhan furnitur,” katanya. (ra)