Bisnis.com, JAKARTA- Dalam kurun waktu 1995 hingga 2010, konsumsi rokok di Indonesia terus meningkat dengan jumlah perokok dewasa pada 1995 mencapai 53,4% di kalangan laki-laki dan 1,7% di kalangan perempuan.
Data resmi menyebutkan Indonesia dicap sebagai negara ketiga dengan jumlah perokok tertinggi di dunia, setelah China dan India. Tingkat produksi rokok pada 2010 mencapai 260 miliar batang, bahkan telah mencapai 270 miliar batang pada 2011.
Hakim Sorimuda Pohan, Anggota Komnas Pengendalian Tembakau, mengatakan Indonesia merupakan satu dari 57 negara anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI) yang belum meratifikasi Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control) sampai saat ini bersama Somalia.
"Hari ini pertemuan OKI dimulai di Indonesia, kami harapkan Indonesia lebih maju lagi seperti anggota OKI lainnya yang telah meratifikasi FCTC," katanya dalam siaran pers yang diterima Bisnis, Senin (21/10/2013).
Indonesia sebetulnya telah memiliki instrumen hukum tingkat lokal hingga nasional yang dapat dijadikan dasar untuk pengendalian konsumsi rokok yang disebutkan dalam berbagai Undang-Undang, termasuk UU Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM), UU Kesehatan, dan UU Perlindungan Anak.
Sayangnya, komitmen pemerintah yang lemah membuat penerapan regulasi ini tidak berjalan maksimal. Selain itu, intervensi industri juga ikut menghambat upaya pengendalian konsumsi rokok.
Sampai saat ini negara juga belum menjadi bagian dari negara-negara yang meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), atau juga disebut Kerangka Konvensi Pengendalian Tembakau.
Indonesia menjadi salah satu dari 11 negera di dunia yang belum meratifikasi FCTC. Total negara yang telah meratifikasi sendiri berjumlah 175. Negara-negara di Asia Tenggara, sekali lagi kecuali Indonesia, telah meratifikasi FCTC.
Dibandingkan dengan dengan salah satu negara tetangga di kawasan ASEAN, misalnya Thailand, Indonesia masih tertinggal jauh di belakang soal pengendalian rokok.
Thailand telah berhasil melaksanakan Article (Ayat) 11 yang tertera di FCTC dengan memberikan gambar dampak rokok bagi kesehatan (pictorial health warning) sebesar 50% dari total bungkus rokok pada 2006.
Upaya ini meningkatkan kesadaran perokok terhadap bahaya rokok dan meningkatkan keinginan mereka untuk berhenti merokok. Dalam Lokakarya media tentang FCTC hari ini (21/10/2013), Kementerian Kesehatan menyatakan telah beberapa kali telah berupaya agar Indonesia segera meratifikasi FCTC, bahkan sejak FCTC ditetapkan pada 2003.
Setelah itu, pada Desember tahun lalu pemerintah mengesahkan Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
Bambang Sulistomo, Staf Khusus Menteri Kesehatan bidang Politik Kebijakan Kesehatan, pada Senin (21/10) dalam seminar "FCTC untuk Ketahanan Bangsa" di Jakarta, mengatakan Kementerian Kesehatan masih menghadapi tantangan yang berat dalam mengupayakan agar Indonesia meratifikasi FCTC.
Menurutnya, Meskipun PP tersebut membawa harapan baru, aktivis pengendalian tembakau meminta pemerintah agar meratifikasi FCTC.
"Tantangannya kuat sekali. Ada beberapa memo dari kementerian lain yang tidak setuju. Seperti dari Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Tenaga Kerja, Kementerian Pertanian," kata Bambang.
Bambang mengatakan alasan yang selalu diungkapkan oleh kementerian tersebut adalah terutama dampak ekonomi yang akan timbul jika FCTC diratifikasi.
"Misalnya Kementerian Tenaga Kerja, mereka berargumen nanti petani nggak punya usaha lagi. Dari Kementerian Perdagangan, mereka takut volume perdagangan menurun, cukai menurun. Tapi mereka nggak lihat itu berapa jumlah orang yang sakit?" lanjut Bambang.
Menanggapi argumen tersebut, Widyastuti Soerojo, Koordinator Pengembangan Peningkatan Kesehatan di Kemasan Rokok, SEATCA-FKM UI, mengatakan bahwa ketakutan-ketakuan tersebut sebetulnya tak berdasar. FCTC, tegasnya, tidak akan mematikan petani tembakau.
Merujuk pada data, lanjut dia, beberapa negara yang meratifikasi FCTC masih tinggi tingkat produksinya bahkan bertambah. Misalnya, Cina, Brazilia, dan India.
China yang meratifikasi FCTC pada 2006 misalnya, angka produksi rokoknya tetap tinggi. Pada 2002 produksi rokok Cina berkisar 38,0%, sedang pada 2010 meningkat menjadi 42,8%.
Widyastuti berharap, pemerintah berpihak kepada kesehatan masyarakat dengan segera meratifikasi FCTC sebelum 2014. "Pemerintah tahu data ini, namun mengapa sampai sekarang pemerintah belum memiliki sikap tegas," tegasnya.