Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah menyatakan tidak ada kata tidak siap bagi Indonesia dalam menghadapi masyarakat ekonomi Asean (MEA) atau yang biasa disebut Asean Economic Community (AEC) yang akan berlaku akhir 2015.
Menko Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan satu tahun menuju AEC 2015 Indonesia harus terus meningkatkan daya saing industri. Daya saing merupakan kunci kesiapan dalam menghadapi AEC 2015. “Daya saing kita meningkat. Belum lama ini naik 12 poin, sejajar dengan Thailand. Indonesia menuju ke sana, harus siap, tidak ada kata tidak siap,” kata Hatta akhir pekan lalu.
Menurutnya, menuju pemberlakukan pasar bebas Asean dimana pasar akan terbuka satu sama lain dan bersaing, Indonesia tidak bisa lagi melakukan proteksi secara keseluruhan. Indonesia harus meningkatkan konektivitas, logistik, peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), dan memangkas perizinan-perizinan yang cukup banyak dan menghambat investasi.
Dia berharap pertumbuhan ekonomi didukung oleh investasi. Selain itu, harus dihilangkan juga persepsi bahwa Indonesia merupakan negara korupsi, karena kaitannya dengan good gorvenance. "Citra negara korupsi membuat investor takut,” jelasnya.
Tujuan AEC adalah menciptakan Asean sebagai sebuah pasar tunggal dan kesatuan basis produksi, dimana terjadi free flow atas barang, jasa, faktor produksi, investasi dan modal serta penghapusan tarif bagi perdagangan antar negara Asean. Artinya, ini jadi momen penting bagi Indonesia lantaran akan memberikan peluang kepada industri untuk memperluas pasar bagi produk-produk industri nasional.
Namun di sisi lain, ini menjadi tantangan mengingat penduduk Indonesia yang sangat besar, tentunya akan menjadi tujuan pasar bagi produk-produk negara Asean lainnya. Bila Indonesia tidak mampu meningkatkan daya saing industri, dikhawatirkan produk-produk Indonesia akan kalah bersaing, tidak hanya di Asean, tetapi di negeri sendiri.
Menteri Perindustrian M.S. Hidayat mengatakan meski kondisi industri manufaktur saat ini sedang terguncang, pihaknya masih optimistis tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Pihaknya tetap memproyeksikan pertumbuhan industri manufaktur akan lebih besar dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi yang targetnya diturunkan menjadi 5,9% saat ini. Pihaknya juga optimis industri dalam negeri siap menghadapi AEC pada akhir 2015.
AEC baru akan berlaku pada akhir 2015. "Indonesia harus berkordinasi, antara pemerintah dan swasta,” kata Hidayat.
Sementara itu, kalangan pengusaha hanya mampu menargetkan pertumbuhan industri manufaktur tahun ini 5,5%, bahkan kian ragu untuk menghadapi AEC 2015.
Semua janji-janji kemudahan atau paket kebijakan pemerintah yang diberikan kepada pengusaha dinilai sulit terealisasi.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi mengatakan pemerintah harus lebih realistis dengan kondisi dunia usaha saat ini. Dimana kepercayaan investor mulai berkurang, kenaikan harga di hampir sebagian besar produk manufaktur, bunga rontok, serta sulitnya ekonomi bertumbuh.
“Ditambah situasi dunia saat ini tidak akan menguntungkan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pemerintah jangan terlalu banyak janji. Pelaksanaan paket kebijakan ekonomi tidak akan berjalan kalau tidak serius,” tuturnya.
Sofjan menegaskan, kebijakan tersebut sulit terealisasi lantaran untuk mendapatkan kemudahan, pengusaha diharuskan meningkatkan nilai ekspornya. Sementara itu, banyak gangguan di daerah yang menyebabkan sulitnya peningkatan ekspor dilakukan. Misalnya saja, banyaknya izin-izin yang diberlakukan di daerah yang sebenarnya bisa dipangkas.
Selain itu, sikap pesimistis pengusaha saat ini juga ditimbulkan oleh kondisi iklim investasi yang membuat banyak perusahaan asing angkat kaki dari Indonesia. Sofjan merinci, para pengusaha asing pada sektor alas kaki umumnya memindahkan produksi ke Kamboja dan Myanmar. Untuk sektor tekstil, relokasi dilakukan ke Vietnam, China, dan Bangladesh. Untuk elektronik, dipindahkan ke Vietnam, Malaysia dan Thailand. Salah satu pertimbangan relokasi ke negara lain adalah AEC 2015.
Menurut Sofjan, pengusaha asing untuk padat karya mulai tidak lagi mempertimbangkan relokasi ke daerah lain karena belum ada kepastikan penaikkan upah minimum buruh. Biaya operasional bertambah, sementara harga ekspor justru stagnan dan cenderung menurun. Selain PHK, sebagian perusahaan lainnya memilih mengganti tenaga kerja dengan mesin.