Bisnis.com, JAKARTA - Penutupan pelayanan di beberapa kantor pemerintahan Amerika Serikat atau government shutdown dinilai tidak akan terlalu memengaruhi perekonomian global. Yang harus diwaspadai adalah perdebatan Kongres AS mengenai batas pinjaman.
Ekonom Standard Chartered Bank Fauzi Ichsan mengatakan plafon pinjaman AS pada rapat Kongres pada 17 Oktober nanti harus dinaikkan. Jika tidak, AS akan mengalami penunggakan atau gagal bayar yang diproyeksi mampu menjadi pemicu krisis finansial global.
"Dolar AS bagaimanpun juga menjadi nilai tukar yang paling banyak dipakai dan bahkan cadangan devisa global sedikitnya 50% merupakan dolar AS. Indonesia saat ini neraca transaksi berjalannya defisit juga akan terpengaruh," ujar Fauzi, Kamis (3/10/2013).
Fauzi menjelaskan, jika hal tersebut terjadi maka aliran modal yang masuk ke Indonesia untuk menutupi defisit transaksi berjalan akan mengering. Hal ini akan kembali melemahkan posisi nilai tukar rupiah yang saat ini masih fluktuatif.
Senada, Gubernur Bank Indonesia Agus D.W. Martowardojo mengatakan perdebatan mengenai plafon pinjaman AS merupakan masalah utama yang perlu diwaspadai.
Agus menilai, hal ini terutama akan meengaruhi perekonomian Indonesia pada neraca perdagangan dan investasi. Secara finansial, kondisi di AS akan berdampak pada tekanan capital outflow yang memerlukan antisipasi.
"Government shutdown dan kesepakatan anggaran AS merupakan kesatuan. Jika ini berlangsung lama, tentu akan berdampak pada negara-negara lain seperti Jepang, China, dan Indonesia. Saya berharap kondisi cepat stabil," ujar Agus.
Fauzi berharap government shutdown akan berlangsung maksimal 2 pekan, bersamaan dengan penaikkan plafon pinjaman AS. Dia memproyeksikan jika hasil kongres memutuskan tidak menaikkan plafon, maka tappering akan terjadi pada kuartal II/2014 atau kuartal III/2014.
Plafon pinjaman saat ini US$16,7 triliun dn sudah tercapai pada Mei 2013. Jika tidak dinaikkan,pemerintah AS mulai menunggak tagihan pada akhir bulan ini.