Bisnis.com, JAKARTA – Defisit anggaran 2014 berisiko melebar menjadi 2,02% terhadap produk domestik bruto akibat kondisi ekonomi yang semakin buruk dari perkiraan semula.
Dalam rapat kerja pemerintah dengan Badan Anggaran DPR, Senin (16/9/2013), Menteri Keuangan M.Chatib Basri memaparkan kontraksi pertumbuhan global diperkirakan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun depan dipangkas dari perkiraan semula 6,4% menjadi 6%.
Pada saat yang sama, rupiah diprediksi masih tertekan sehingga pemerintah menetapkan asumsi nilai tukar rupiah Rp10.500 per dolar Amerika Serikat atau berubah dari asumsi semula Rp9.750 per dolar AS dalam RAPBN 2014.
Perubahan asumsi ekonomi makro itu diperkirakan berpengaruh terhadap penerimaan perpajakan menjadi lebih rendah dari rencana dalam RAPBN 2014. Pendapatan negara yang semula diperhitungkan Rp1.662,5 triliun, berkurang menjadi Rp1.640,3 triliun.
Di sisi lain, belanja negara diestimasi naik karena peningkatan subsidi BBM dan listrik serta pembayaran bunga utang sebagai akibat depresiasi rupiah. Belanja negara yang awalnya diperkirakan Rp1.816,7 triliun, meningkat menjadi Rp1.849,8 triliun.
Dengan demikian, defisit anggaran berisiko naik dari 1,49% menjadi 2,02% atau setara Rp209,5 triliun terhadap PDB.
“Pemantauan terkini pelaksanaan APBNP 2013 menunjukkan terjadi perlambatan ekonomi yang diperkirakan berpengaruh signifikan terhadap penerimaan perpajakan 2013 sehingga perlu diperhitungkan dampaknya dalam estimasi perpajakan 2014,” kata Chatib.
Kendati demikian, lanjutnya, risiko pelebaran defisit itu belum mencerminkan upaya pemerintah. Chatib menuturkan pihaknya akan berusaha menekan defisit di level 1,7% dengan melakukan beberapa program.
Pihaknya akan merekrut pegawai pajak 3.000 orang tahun depan sehingga penerimaan pajak dapat ditingkatkan. Selain itu, ekstensifikasi dilakukan ke sektor yang selama ini belum banyak tergarap, seperti properti.
Di sisi belanja, pemerintah akan melakukan kontrol, terutama untuk belanja pegawai dan barang serta belanja subsidi energi.