Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Dianggap Paling Liberal, Draft Revisi UU Devisa Sudah Ada di Parlemen

Bisnis.com, JAKARTA - Draft revisi Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Lalu Lintas Devisa diketahui sudah berada di tangan parlemen, meski masih tertahan di tingkat Deputi Sekretariat Jenderal (Sekjen) Perundang-undangan DPR.

Bisnis.com, JAKARTA - Draft revisi Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Lalu Lintas Devisa diketahui sudah berada di tangan parlemen, meski masih tertahan di tingkat Deputi Sekretariat Jenderal (Sekjen) Perundang-undangan DPR.

Wakil Ketua Komisi XI DPR Harry Azhar Aziz mengatakan UU No.24/1999 tentang Lalu Lintas Devisa Indonesia merupakan salah satu regulasi devisa paling liberal, era International Monetery Fund (IMF).

“Regulasi devisa yang ada sekarang sudah merugikan perekonomian dan sangat mengganggu sektor riil, harus segera direvisi. Itu target kami. Draft rancangan masih di tingkat Deputi Sekjen Perundang-Undangan DPR, belum masuk ke Komisi XI," ujarnya melalui keterangan resmi, Senin (9/9/2013).

Menurutnya, UU Devisa yang berlaku saat ini memberi kelonggaran yang cukup luas kepada Bank Indonesia (BI) untuk mengatur lalu lintas devisa dan valuta asing melalui Peraturan Bank Indonesia.

Faktanya, kata dia PBI yang ada belum cukup ampuh meredam gejolak rupiah yang terjadi belakangan, sehingga membuat kondisi perekonomian mengalami gejolak.

Dia memberi contoh langkah yang ditempuh Thailand dalam memburu serta mengembalikan devisa hasil ekspornya melalui UU Devisa yang sangat ketat.

“Dalam UU Devisa di Thailand tersebut ada kewajiban untuk menempatkan DHE di bank lokal dalam periode tertentu atau disebut holding period. Saya kira ini bagus, supaya pasar valas kita tidak mudah dimainkan dan stabil, dunia usaha juga jadi tenang,” katanya.

Saat ini, Bank Indonesia memiliki PBI No.13/20/PBI/2011 dan Surat Gubernur BI no.14/3/GBI/SDM tanggal 30 Oktober 2012.

Dalam aturan itu, devisa hasil ekspor komoditas tambang, serta minyak dan gas yang diparkir di luar negeri perlu ditarik ke dalam negeri paling lambat 90 hari setelah tanggal pemberitahuan ekspor barang (PEB).

Namun, PBI tersebut terbukti tidak cukup kuat menarik dan menahan devisa hasil ekspor ke dalam negeri.

”Salah satu penyebabnya, tidak ada kewajiban menaru devisa di dalam negeri dalam waktu tertentu dalam 6 bulan misalnya. Sebab disitu aturannya cuma melakukan pelaporan ya kembali lagi ke luar negeri," jelasnya.

Saat ini, pasar valas sudah mulai kering. "Orang asing seenaknya keluar-masuk, ekonomi kita yang terguncang oleh instabilitas pasar uang dan pasar modal. Ini tidak bisa dibiarkan terus,” pungkasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper