Bisnis.com, JAKARTA - Indonesia berhasil melesat ke ranking 38 atau naik 12 level dalam indeks daya saing global menurut World Economic Forum, tetapi masih menyisakan sejumlah masalah, seperti korupsi, inefisiensi birokrasi pemerintah dan infrastruktur yang belum memadai.
Tiga problem itu merupakan bagian dari 16 faktor paling problematik dalam menciptakan daya saing Indonesia yang diindentifikasi oleh WEF.
Menanggapi hal itu, Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa mengakui korupsi, inefisiensi birokrasi dan keterbatasan infrastruktur masih menjadi momok daya saing Indonesia, tetapi sudah ada tren menuju perbaikan.
Pemerintah, lanjutnya, terus berkampanye mengenai reformasi birokrasi yang dikaitkan perbaikan pelayanan publik seiring dengan peningkatan belanja pegawai.
“Orang tidak bisa lagi menambah pegawai yang memberatkan APBN kalau tidak bermuara pada peningkatan pelayanan publik,” katanya, Rabu (4/9/2013).
Indonesia bertengger di level 38 dengan skor 4,53 atau melesat dari posisi ke-50. Lonjakan 12 level itu terbanyak di antara anggota kelompok G-20 setelah sempat merosot tiga kali sebelumnya.
“Perkembangan positif ini akan berkontribusi bagi momentum pertumbuhan Indonesia yang impresif. PDB bertumbuh pada level tahunan 5,2% selama 1 dekade terakhir,” jelas WEF dalam laporan Global Competitiveness Index.
RI dinilai memenuhi 10 dari 12 pilar dalam indeks, tetapi performa keseluruhan raksasa Asia Tenggara itu masih belum jelas. Poin positif yang dicatat WEF dari Indonesia, a.l. kemajuan pilar infrastruktur, efisiensi pasar tenaga kerja, kualitas institusi publik dan swasta, dan efisiensi pemerintah.
“Kalau kita bicara daya saing, banyak faktor, ada beberapa belas yang diukur, tapi yang menonjol adalah sebetulnya kemampuan iptek kita juga sudah meningkat. Artinya, SDM sumber daya manusia) kita meningkat. Di situ juga ada hal-hal governance, seperti bagaimana kita mengelola perizinan,” ujar Hatta.
Meskipun demikian, posisi Indonesia Indonesia masih di bawah Thailand yang menduduki peringkat 37 meskipun kedua negara sama-sama masuk tahap pembangunan kedua dengan ciri pendapatan per kapita US$3.000-8.999 per tahun dan ekonomi berbasis efisiensi.
Pelaksana Tugas Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro berpendapat prestasi Thailand itu wajar mengingat kondisi geografis Indonesia lebih kompleks dari Negeri Gajah Putih itu.
“Tidak bisa Indonesia dibandingkan begitu saja dengan kriteria yang sama dengan negara-negara kayak Singapura, Thailand, yang less complicated daripada Indonesia,” ujarnya.