Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Krisis Rupiah: Paket Stimulus Tidak Berdampak Signifikan, Kenapa?

Bisnis.com, MAKASSAR--Ekonom Universitas Hasanuddin Makassar Syarkawi Rauf menganggap paket stimulus pemerintah untuk mengurangi gejolak sektor keuangan tidak akan berdampak signifikan.

Bisnis.com, MAKASSAR--Ekonom Universitas Hasanuddin Makassar Syarkawi Rauf menganggap paket stimulus pemerintah untuk mengurangi gejolak sektor keuangan tidak akan berdampak signifikan.

Gejolak sektor keuangan itu ditandai oleh defisit transaksi berjalan yang semakin besar, depresiasi rupiah yang semakin tinggi, dan indeks harga saham gabungan yang juga mengalami penurunan drastis.

"Respon pemerintah dengan mengeluarkan empat paket stimulus tidak akan berdampak signifikan terhadap pergerakan tiga indikator di atas," kata Syarkawi lewat pesan Blackberry Messager, Sabtu (24/8).

Dicontohkan, defisit transaksi berjalan bukan karena produk kita kalah bersaing di luar negeri tetapi secara struktural ekspor Indonesia memang sangat tergantung pada komoditas primer.

Komoditas primer itu seperti produk pertanian non olahan, barang tambang non olahan, produk kehutanan, komoditas perikanan, komoditas perkebunan, dan lainnya.

"Sementara khusus untuk ekspor produk manufaktur masih sedikit jumlah dan jenisnya yang bahkan masih sangat tergantung pada tekstil dan produk dari tekstil, industri kerajinan," kata mantan chief economist Bank BNI Makaassar ini.

Menurutnya ada beberapa komoditas industri manufaktur yang diekspor tetapi kandungan impornya juga tinggi.

Permasalahan lemahnya ekspor produk manufaktur Indonesia, tambahnya, disebabkan oleh lemahnya dukungan pemerintah untuk menggerakkan sektor industri.

Syarkawi juga mempertanyakan insentif yang diberikan pemerintah untuk menggerakkan industrialisasi di kawasan timur Indonesia (KTI) yang memiliki banyak komoditas pertanian, pertambangan, perkebunan, dan perikanan.

Menurut komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) ini semuanya masih diekspor dalam bentuk non olahan.

Benahi Industri

"Jika pemerintah baru mulai sadar dan ingin membenahi sektor manufaktur untuk menggenjot ekspor maka kebijakan ini tidak akan dirasakan dampaknya dalam jangka pendek, dampaknya hanya akan terjadi dalam jangka panjang, itu pun kalau pemerintah serius," jelasnya.

Selama ini, katanya, pemerintah tidak pernah serius membenahi sektor industri. Pemerintah dianggapnya cenderung bermental importir.

Keinginan pemerintah mengurangi impor bahan bakar minyak dan mengalihkannya pada peningkatan produksi biodiesel dalam negeri juga dianggap kurang realistis.

Menurut Syarkawi efeknya baru akan terasa dalam jangka panjang, dengan catatan pemerintah memberikan insentif untuk penelitian dan pengembangan di bidang energi terbarukan yang input-nya banyak di dalam negeri.

Mengurangi impor BBM juga akan berdampak pada produktifitas ekonomi yang menurun dan pada akhirnya menurunkan pertumbuhan ekonomi nasional. Sektor transportasi juga terimbas. 

"Masyarakat diharapkan ikut menurunkan konsumsi BBM dalam penggunaan mobil pribadi dan mereka bisa pindah ke kendaraan umum. Lagi-lagi hal ini mustahil dilakukan dalam situasi transportasi publik seperti sekarang ini," katanya.

Terkait dengan kenaikan inflasi, pengajar di Fakultas Ekonomi Unhas ini berharap pemerintah memperbaiki pasar komoditas pangan strategis dengan menghilangkan dugaan kartel atau persekongkolan antar pelaku usaha untuk mengatur harga.

Selama ini, katanya, beberapa komoditas pangan strategis nasional diduga dikuasi oleh kartel dan dikendalikan oleh persekongkolan antar pelaku usaha.

Syarkawi minta pemerintah fokus ke permasalahan jangka pendek dulu dibanding jangka panjang. Salah satunya, segera merealisasikan buyback saham BUMN untuk mendongkark IHSG.

Selain itu, perkuat cadangan devisa dengan memanfaatkan berbagai fasilitas seperti Chiang Mai Inisiative dan segera melakukan pembenahan dalam prosedur impor beberapa komoditas strategis untuk mengendalikan inflasi.

"Pemerintah juga bisa mengubah fokus alokasi pembiayaan dalam APBN perubahan dan APBN 2014 sehingga tampak lebih sensitif terhadap krisis," tambahnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper