Bisnis.com, JAKARTA - Menjelang pidato kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tentang RAPBN 2014 di hadapan para anggota DPR dan DPD, tim redaksi Bisnis Indonesia mewawancarai Menteri Keuangan Chatib Basri pada Kamis (15/8/2013). Pak Dede, begitu panggilan akrab Menkeu, menjawab seluruh pertanyaan dengan lugas. Berikut petikannya yang dibuat secara berseri:
Dari peranan fiskal, bagaimana upaya menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) dan apakah Indonesia siap mengingat Free Trade Area dengan China yang persiapan 10 tahun saja kita masih kalang kabut menghadapiya?
Saya melihat kita harus menyiasati ini dengan cerdas. Cost-nya sangat besar dan prosesnya rumit kalau kita tiba-tiba bilang tidak terima MEA. Sepertinya nggak mungkin. Bagaimana muka kita? Akan tetapi kalau kita lepaskan katanya kita nggak siap. Jadi kita harus ada role di sana.
Masalahnya kita sering terjebak solusi jangka pendek. Kalau begitu kita sering proteksionis, sehingga orang marah. Padahal pemerintah bisa, step ini bukan dengan protek industrinya tapi mendukung industinya.
Nah, kalau kita memberikan perlindungan industri sifatnya company by company, ujungnya ekonomi rente.
Nanti yang dekat dengan siapa dia yang dapat perlindungnnya sehingga support-nya harus diberikan yang sifatnya accross the board.
Misalnya bergantung kepada inovasi, R&D, human resources.
Nah, ini yang pemerintah bisa step in, fiskal insentif diberikan seperti itu.
Perusahaan yang melakukan R & D bisa dapat double deduction. Mereka harus center RND ada di sini karena pasarnya kan Indonesia. Kita harus rebut hub-nya dari Singapura ke sini. Seperti Loreal yang menaruh evaluation center di mana market-nya Asean. Di industri otomotif juga R & D di sini, bahkan ekspo. Role dari fiskal support di sana.
Jangan datang dengan kebijakan yang tidak setuju MEA, karena secara politis susah, akan tetapi yang penting gov step in dengan insentif. Saya lagi eksplor, kita kan punya BLK, akan tetapi orang tamat di BLK di perusahaan harus di-training lagi karena alat di BLK nggak cocok dengan perusahaan, masih jadul, kita masih lotus padahal secara praktik sudah Mac.
Kenapa perusahaan nggak diminta bikin training, kasih double deduction, jadi mereka nggak usah di-retrain.
Makanya waktu Jeff Imelt dari GE [General Electric] datang ke sini, saya sebagai kepala BKPM minta dia investasi dalam training di Indonesia. Kepada Cargil, saya juga minta fokus ke human resources.
Bujet pendidikan besar, 20% dari APBN, apa peran fiskal?
Saya komunikasi terus dengan Mendikbud, cukup intens. Kurikulum baru, vocational training itu some how bisa menolong. Memang betul alokasi 20% keliatannya belum optimal padahal besar sekali itu untuk pendidikan daerah.
Kemenkeu dan Kemendikbud ada LPDP [Lembaga Pengelola Dana Pendidikan], dana untuk mendukung human resources. Saya ingin anak-anak Indonesia yang dapat sekolah bagus dari bea siswa negara, sehingga mereka ada kebanggaan dan mereka mau pulang.
Sekarang sudah ada alokasi dan institusi untuk itu. Kita lagi mulai rekrut unutk dapat orang yang eligible. Masalahnya bea siswa tersedia tetapia nggak banyak orang yang bisa dapat. Itu mungkin karena bahasa Inggris yang kurang. Kalau Malaysia dan Singapura bisa kenapa kita nggak? Kita harus dorong.
Bagaimana dengan BI Rate yang dinaikkan?
Kita harus lihat inflasinya bukan demand, tetapi cost push. Jadi ada sebagian kawan-kawan yang berpandangan kenapa cost push diantisipasi dengan demand tool naikkan BI rate, kan ini admnistered price. Saya mengerti dengan pandangan itu karena nggak salah juga.
Tapi di sisi lain ada ekspektasi pasar, inflasi naik, kalo BI nggak melakukan langkah-langkah, BI akan behind the curve. Dugaan saya ini adalah gesture dari central bank bahwa mereka nggak behind the curve, tapi bukan policy seperti 2005.
Itulah kenapa kenaikannya seperi itu. Tapi apakah bisa mendefend rupiah? Situasi global yang ada membuat kena semua.
Bisa dijelaskan tentang grand design perpajakan?
Anda kalau mau mengharap investor masuk ke sini karena insentif pajak itu nggak benar, karena berarti fiskal yang harus dikorbankan.
Hambatan dari investasi yang utama bukan insentif pajak tapi birokrasi dan infrastrtur. Itu yang harus diselesaikan! Pajak dibutuhkan insentifnya karena untuk menuelesaikan birokrasi dan infrastruktur itu butuh waktu panjang.
Jadi untuk sementara ini dikompensasi. Namun jangan berpikir kita hanya mengandalakan insentif pajak karena kita tidak akan pernah membereskan birokrasi dan infrastruktur kita.
Kalau insentif pajak tapi birokrasinya menghambat juga nggak jalan tuh. Namun karena jumlah insentif terbatas kita harus kasih prioritas buat mereka yang bisa mendorong growth di masa depan. Itu inovasi, R&D, reneable energy, human resources. Itu berhak.
Atau untuk mempertahankan daya beli untuk sementara, dengan keep buying strategy. Jadi sifatnya lebih kesana, fiskal insentif itu harus targeted dan temporer. Kalau gak, liat yang terjadi di Eropa, di mana semuanya ditanggung dengan insurance dan pensiun fiskalnya jebol.
Cuplikan Wawancara Sebelumnya:
SAYA SELALU MENGORBANKAN PAK GITA WIRJAWAN
SAYA INGIN MEMBUAT SUCCESS STORY
Cuplikan Wawacara Sesudahnya:
UKM Itu Tidak Ngerti Cara Bikin Buku
Share Asing Masih Berpengaruh Sekali