Bisnis.com, JAKARTA - Standar Hutan Hujan Tropis (Rainforest Standard) diharapkan dapat menjadi peraturan baku terkait perdagangan karbon sebagai upaya pendanaan alternatif untuk mencegah deforestasi.
Ahli konservasi dari Universitas Colombia Rebecca Johnson menuturkan laju deforestasi mencapai 12 juta ha per tahun dan menyumbang 12-15% terhadap emisi gas rumah kaca secara global. Untuk itu, diperlukan pendekatan baru guna menekan emisi dari deforestasi dan penggundulan hutan.
"Caranya dengan menguangkan hutan yang masih lestari atau forest carbon credits," ujarnya dalam diskusi berjudul The Rainforest Standard: Strenghtening Indonesia's Climate Change Mitigation Capacity, Selasa (23/7/2013).
Dengan demikian, lanjutnya, masyarakat adat atau pun pemilik lahan konsesi dapat memperoleh pendapatan tanpa melakukan penebangan hutan, yakni dengan penjualan karbon. Namun, diperlukan suatu standar sebagai panduan dan rujukan transaksi bernilai ekonomis tersebut.
"Dalam 2 tahun terakhir kami mengembangkan Rainforest Standard (RFS) sebagai rujukan dalam mencari mekanisme pembiayaan inovatif guna mengurangi deforestasi," kata Johnson.
Kajian RFS dilakukan di sejumlah negara Amerika Selatan, seperti Bolivia, Ekuador, COlombia, Brazil, dan Peru. Adapun implementasi di Asia baru mulai diterapkan dan diadaptasi di Indonesia.
Harry Alexander, peneliti Research Center for Climate Change Universitas Indonesia, menilai RFS merupakan rujukan yang tepat untuk mengimplementasikan perdagangan karbon di Indonesia. Pasalnya, RFS mengakui hak atas karbon berdasarkan kepemilikan hutan baik oleh perusahaan selaku pemegang konsesi maupun oleh masyarakat adat.
"Masyarakat adat lemah dari sisi legalitas. Tapi di sini keberadaannya sebagai entitas diakui secara legal," ujarnya.
Dalam perdagangan karbon, lanjut Harry, pemerintah sebaiknya hanya berperan sebagai regulator. Dengan demikian, pemerintah dapat melakukan pengawasan dan menetapkan aturan-aturan terkait transaksi jual-beli karbon, misalnya tarif carbon tax.
Pemerintah kan katanya mau jual karbon yang di taman nasional dan hutan negara, lalu meminta bagian 30% dari carbon pooling untuk dijual. Menurut saya, pemerintah jadi regulator saja lah," tutur Harry.
Harry menambahkan saat ini pasar karbon dunia memang tengah lesu, terutama terkait resesi Eropa dan turbulensi perekonomian Amerika Serikat. Namun, dalam 10-20 tahun mendatang, alternatif tersebut dinilai sangat potensial. Di pasar global, karbon dihargai dalam kisaran US$2-10/ton tergantung negosiasi dan permintaan pasar.
"AS itu potensial buyers. Kalau kita adaptasi RFS, transaksi carbon trading dengan mereka menjadi sangat potensial," ujarnya.
Saat ini, perdagangan karbon masih bersifat sukarela (voluntary). Pasalnya, pembahasan di forum UNFCCC dan REDD+ sebagai wadah yang diharapkan menjadi mandatory carbon market masih menemui jalan buntu.