Bisnis.com, JAKARTA - PLTU Batang akan menjadi preseden buruk bagi proyek kerja sama pemerintah-swasta di Tanah Air jika mega proyek pembangkit listrik berkekuatan 2x1.000 megawatt itu gagal diwujudkan.
Hal itu lumrah mengingat PLTU Batang dengan nilai investasi Rp30 triliun itu merupakan proyek KPS atau public-private partnership (PPP) perdana di Indonesia.
Deputi Menteri Koordinator Perekonomian Bidang Perencanaan Infrastruktur dan Regional Luky Eko Wuryanto menuturkan pembebasan lahan hingga kini belum tuntas akibat provokasi sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Menurutnya, LSM memberikan informasi yang tidak benar, misalnya PLTU berbahan bakar batubara itu akan mencemari lingkungan sekitar. Akibatnya, masyarakat setempat bakal kehilangan mata pencaharian.
Padahal, dari total 220 hektare lahan yang dibutuhkan, tinggal 15% atau 33 hektare yang belum dibebaskan.
“Ini kan proyek PPP pertama. Kalau ini tidak jalan, ini jadi preseden banget. Tolong, masyarakat diberikan informasi yang obyektif,” katanya, Selasa (16/7/2013).
Akibat penyampaian informasi yang tidak seimbang, lanjut Luky, masyarakat enggan melepas tanah miliknya.
Pihaknya akan terus melakukan pendekatan dengan masyarakat di 3 desa yang menjadi lokasi pembangunan proyek, yakni Ponowareng, Ujungnegoro, Karanggeneng, Kabupaten Batang, Jawa Tengah.
PLTU Batang berteknologi pulverized coal supercritical itu merupakan satu dari proyek KPS dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI).
Dari sekitar Rp4.000 triliun nilai investasi seluruh proyek dalam MP3EI, 21% di antaranya merupakan investasi proyek KPS. Sebanyak 49% merupakan investasi swasta, 18% BUMN dan 12% pemerintah.
Dalam proyek PLTU Batang, pemerintah menggandeng swasta, yakni PT Bhimasena Power Indonesia yang merupakan konsorsium beranggotakan Adaro dengan dua perusahaan asal Jepang yakni J Power dan Itochu.