BISNIS.COM, JAKARTA—PT Pelabuhan Indonesia II atau Indonesia Port Corporation (IPC) mendorong pembahasan biaya penalti bagi pemilik barang yang sengaja mengendapkan petikemas di pelabuhan dengan mengkaji kembali tarif progresif.
Direktur Utama IPC Richard Joost Lino mengatakan jumlah peti kemas yang menumpuk di atas 4 hari di Pelabuhan Tanjung Priok mencapai 2.000 boks sedangkan petikemas yang sudah mengantongi surat persetujuan pengeluaran barang (SPPB) sekitar 4.000-5.000 boks.
Akibat penumpukan itu tingkat penggunaan lapangan penumpukan atau yield of occupancy ratio (YOR) Pelabuhan Tanjung Priok di atas 100% padahal proporsi panjang dermaga dan yard sudah cukup besar sebagai antisipasi.
"Saya dorong untuk dibahas [penalti]. Semua itu juga kesepakatan dengan pemakai barang, tarif pelabuhan itu tak ada yang kami tetapkan sendiri, jadi kalau orang bilang tarif mahal, itu yang ngomong siapa? Karena semua tarif ada kesepakatan,” katanya, Selasa (9/7/2013).
Lino menegaskan apabila pembahasan biaya penalti itu dilakukan, pihaknya mesti berembug dengan pelaku usaha sebagai pengguna jasa. Jika tidak ada persetujuan atau kesepakatan, perseroan juga tidak akan memaksakan kehendak.
Adapun terkait tarif progresif yang sudah diimplementasikan sejak 1 Januari 2012, Lino menganggap justru kurang tinggi karena dengan tarif itu masih ada importir yang lebih memilih menumpuk barangnya di pelabuhan.
“Justru itu, kurang tinggi [tarif progresif, contoh, oke kalau hari keempat belum diambil itu akan kena penalti 1.000%, hari kelima 5.000%, ini misalnya. Saya enggak ingin uang itu, tapi kalau itu kita tidak paksain, mereka itu tidak merasa salah,” katanya.
Pada 1 Januari 2012, IPC menetapkan tarif progresif untuk peti kemas yang tidak segera dikeluarkan dalam waktu 3 hari-5 hari dari Pelabuhan Tanjung Priok setelah mendapatkan SPPB atau Surat Penyerahan Petikemas (SP2).
Salah satu ketentuannya bahwa peti kemas impor yang telah selesai proses kepabeanan dikenakan tambahan 200% dari tarif yang dikenakan saat itu dengan ketentuan di antaranya SPPB terbit setelah peti kemas menumpuk di lapangan pada hari ketiga. Tarif inap ketika itu sekitar Rp20.730 per boks.
Lino membantah pihaknya mengeruk keuntungan dari tarif progresif seiring dengan lamanya dwelling time, proses pengeluaran barang di pelabuhan sampai ke gudang pemilik, dari 6 hari menjadi 4 hari tetapi kini justru mencapai 9 hari.
“Pelabuhan itu tak ambil uang dari penumpukan, makin lama peti kemas di pelabuhan, kapasitasnya menurun, enggak bisa bongar muat, yang rugi negeri ini, yang susahnya ekspor impor Indonesia itu 65% via JICT dan Koja. Saya lihat Pak Menteri komit untuk selesaikan ini,” katanya.
Pihaknya juga minta Ditjen Bea dan Cukai agar aktivitas kontainer pindah lokasi (over brengen/OB) di Priok tidak memakan hingga 85% dari penggunaan yard sehingga perlu dipindahkan.
Dia berharap dalam satu terminal YOR lapangan mesti di bawah 60% dari kapasitas lapangan terpasang agar manuver masuk dan keluar peti kemas tidak terhambat.
Pihaknya minta Bea dan cukai, agar OB itu jangan mencapai 85% dari utilisasi yard, di bawah 60% itu dwelling time langsung turun.
Jadi biar penyelesaian Bea dan Cukai itu di luar pelabuhan, kalau itu turun 60%, DT bisa turun tapi tak berarti custom clearance cepat selesai, itu lain lagi," katanya (ra)