BISNIS.COM, JAKARTA--Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menolak tudingan bahwa industri sawit merupakan penyebab terbesar deforestasi di Indonesia. Pasalnya, hanya 3,03% lahan perkebunan sawit yang ditanam di atas hutan tidak terganggu.
Tungkot Sipayung, Ketua bidang Advokasi Gapki, menuturkan tidak tepat apabila perkebunan sawit disebut sebagai pendorong utama deforestasi. Dari citra satelit, terbukti bahwa perkebunan sawit mayoritas berada di lahan terlantar.
Berdasarkan citra satelit (Arc Gis) yang dilakukan CIFOR pada 2012, lanjutnya, hanya 3,03% dari 8,07 juta hektare tanaman sawit atau sekitar 244.521 hektare yang ditanam di atas hutan tidak terganggu.
Sebanyak 26,55% ditanam di atas hutan rusak atau eks HPH, 12,57% ditanam di hutan tanaman industri, 14,40% di lahan pertanian, dan mayoritas atau 43,45% ditanam di atas lahan terlantar.
"Ini pakai analisis citra satelit. Kalau ada yang bilang sawit menyebabkan deforestasi mana buktinya?" tuturnya dalam Semiloka Nasional bertajuk Solusi dan Alernatif Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan di Indonesia, Selasa (2/7/2013).
Tungkot menambahkan perkebunan kelapa sawit secara netto adalah penyerap karbondioksida yang lebih besar daripada hutan alam tropis. Penyerapan kebun kelapa sawit mencapai 64,5 ton CO2/ha/tahun, sedangkan penyerapan hutan alam topis sebesar 42,4 ton CO2/ha/tahun.
Perkebunan sawit juga diklaim dapat meningkatkan stock carbon gambut dari 57,3 ton karbon/hektare pada hutan gambut sekunder menjadi 73,0 ton karbon/hektare pada perkebunan sawit berusia 14-15 tahun.
Wakil Menteri Pertanian Rusman Heryawan mengatakan seiring moratorium pemberian izin baru pemanfaatan hutan alam primer dan lahan gambut ruang gerak ekspansi lahan perkebunan sawit menjadi terbatas. Untuk itu, industri didorong untuk meningkatkan produktivitas yang belum maksimal, bukan melakukan ekstensifikasi.
"Dengan target zero deforestasi dan masih berlangsungnya moratorium lahan, tidak ada ruang lain bagi industri sawit kecuali bersama-sama meningkatkan produktivitas, baik industri besar, maupun kecil," ujarnya.
Kepala Sekretariat Dewan Nasional Perubahan Iklim Agus Purnomo menuturkan nol deforestasi merupakan suatu pilihan pola pembangunan sektor perkebunan dan kehutanan yang perlu dipertimbangkan di masa mendatang.
"Moratorium jadi waktu untuk mereformasi tata kelola kehutanan dan tata perizinan. Mungkin butuh beberapa periode moratorium supaya tata kelola kehutanan lebih baik," kata Agus.
Agus menambahkan perlu insentif dan fasilitasi bagi industri dalam menerapkan sustainabilitas dalam proses produksinya. Pasalnya, peluang berbalik arah menuju ke praktek yang tidak berkelanjutan sangat besar.