BISNIS.COM, JAKARTA —Bea Keluar (BK) atas ekspor biji kakao yang diberlakukan sejak 1 April 2010 telah mendorong berkembangnya industri hilir Indonesia, yang merupakan produsen ketiga terbesar dunia.
Namun, terdapat kekhawatiran situasi berbalik setelah produksi belum stabil.
Menteri Perdagangan, Gita Wirjawan mengatakan kebijakan BK dinilai cukup berhasil karena terbukti telah mengembangkan industri hilir.
Salah satu contohnya dapat dilihat dengan berdirinya enam pabrik pengolahan kakao yang baru dengan kapasitas total 430.000 ton per tahun. Selain itu, menurut Mendag, industri kakao Indonesia juga mengalami peningkatan kapasitas produksi yang cukup signifikan.
“Telah terjadi peningkatan kapasitas industri sekitar 87%. Hal ini dikarenakan adanya beberapa industri, yang sebelumnya berhenti berproduksi, kembali beroperasi,” katanya, Sabtu (15/6).
Yang tidak kalah pentingnya, ujar Mendag, penerapan BK juga membuka peluang yang lebih besar kepada para petani kakao karena dapat menjual produk biji kakao, tidak hanya kepada para pedagang/eksportir, tetapi juga kepada industri pengolahan kakao dalam negeri.
“Masuknya para investor asing tidak perlu dikhawatirkan. Hal ini tidak akan mempengaruhi industri kakao yang sudah ada karena pangsa pasar yang berbeda,” ujar Gita.
Beberapa investor asing seperti Cargill, ADM dan JB Cocoa memproduksi kakao olahan kelas premium untuk pasar di Eropa. Sedangkan industri yang sudah ada di Indonesia umumnya memproduksi kakao olahan kelas menengah untuk pasar di negara-negara berkembang.
Perkembangan industri hilir ini juga ditandai dengan rencana ekspansi PT Nestle Indonesia atas pabrik susu Milo dan Dancow di Pasuruan dan Karawang. PT. Asia Cocoa Indonesia merupakan investor dari Malaysia yang sudah mengoperasikan pabriknya di Batam yang mengolah biji kakao menjadi cocoa butter dengan kapasitas terpasang 65.000 ton.
Produksi Biji Kakao tahun 2010 meningkat sebanyak 29.335 ton dibanding tahun 2009. Sementara pada tahun 2011 terjadi penurunan sebesar 125.687 ton dibanding tahun 2010 yang mencapai 837.918 ton. Pada tahun 2012, angka sementara produksi mencapai 936.266 ton atau bertambah sebesar 224.035 ton.
Firman Bakri Anom, sekretaris eksekutif Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo), mengatakan yang patut menjadi perhatian saat ini adalah banyaknya pabrik pengolahan tersebut. Menurutnya hal itu bisa membuat BK tak memiliki banyak kontribusi.
“Jika produksi belum stabil dan lahan kakao makin berkurang, maka kebijakan BK bisa jadi berbalik, karena kebutuhan pengolah dalam negeri yang juga tinggi,” ujarnya pada Senin (17/6)
Dia menambahkan, saat ini konversi lahan kakao ke sawit juga menjadi persoalan karena harga kakao yang buruk dan kurangnya dukungan dari pemerintah membuat banyak petani kakao beralih ke sawit.
“Mungkin produksi sempat naik, tapi dilihat dari kebutuhan dalam negeri yang terus naik, ada kemungkinan kita berbalik mengimpor kakao. Apalagi jika lahan dan produksi menyusut,” ujarnya pada Senin (17/6).
Menurutnya jika ingin produksi dan ekspor tetap stabil, maka pemerintah harus lebih aktif dalam mengatur konversi lahan dan juga harga. Dia berharap ada semacam otoritas terhadap harga kakao seperti yang dilakukan Bulog pada beras.