NUSA DUA, BALI-PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) meminta pemerintah mengendalikan produksi batu bara agar cadangan nasional untuk pembangkit tenaga listrik tetap terjaga.
Hilmi Nazamuddin, Kepala Divisi Batu Bara PLN mengatakan pengendalian produksi batu bara harus segera dilakukan agar PLN tidak mengimpor batu bara dalam beberapa tahun ke depan. Pasalnya, saat ini Indonesia merupakan eksportir batu bara terbesar dengan cadangan hanya 3% dari total cadangan batu bara dunia.
"Kalau batu bara terus diekspor seperti sekarang, saya khawatir dalam beberapa tahun mendatang PLN harus mengimpor batu bara untuk pembangkit. Makanya, Pemerintah harus segera melakukan pengendalian produksi komoditas itu," katanya di Bali, Selasa (4/6/2013).
Hilmi mengungkapkan tahun ini saja PLN membutuhkan 66,2 juta ton batu bara untuk pembangkit listrik. Jumlah tersebut akan terus meningkat setiap tahunnya seiring dengan rencana Pemerintah memperbanyak pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) untuk menggantikan pembangkit listrik yang menggunakan bahan bakar minyak (BBM).
Pada 2017 mendatang, Hilmi memperkirakan kebutuhan batu bara untuk pembangkit listrik akan mencapai di atas 100 juta ton per tahun, sehingga dapat menekan konsumsi BBM menjadi 625 juta liter.
Menurutnya, pengendalian produksi akan membuat harga batu bara kembali naik, karena tidak lagi terjadi kelebihan pasokan. "Indonesia sebagai pengekspor batu bara dunia harusnya dapat mengendalikan harga. Pengendalian produksi itu salah satu cara agar Indonesia mengendalikan harga batu bara kembali naik," ungkapnya.
Selain itu, Hilmi juga meminta pelaku usaha batu bara nasional tidak perlu khawatir terhadap penyerapan batu bara di pasar domestik (domestic market obligation/DMO). Alasannya, saat ini PLN terus menggenjot pembangunan PLTU skala besar untuk memenuhi kebutuhan listrik dan mengejar target elektrifikasi nasional.
Supriatna Suhala, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) mengatakan pengusaha siap melaksanakan kebijakan pengendalian batu bara jika memang diperlukan. Pengusaha pun bersedia memperbesar kapasitas DMO selama Pemerintah dapat memastikan penyerapannya.
"Pengendalian produksi ini lebih baik dibandingkan dengan kebijakan pelarangan ekspor. Pelarangan ekspor dapat mematikan perusahaan batu bara, karena perusahaan harus menghentikan kegiatannya, tetapi ada kewajiban yang tetap harus dibayarkan," jelasnya.
Menurutnya, pengusaha lebih mengutamakan kejelasan dan kepastian aturan dalam memproduksi batu bara dibandingkan dengan persoalan berapa banyak produksinya. "Selama ini kan tidak pasti, pelarangan ekspor hanya wacana. Kami setuju pengendalian produksi, asalkan aturannya jelas," terangnya.