BISNIS.COM, JAKARTA—Kamar Dagang dan Industri Indonesia mempertanyakan tujuan dasar dari kemungkinan penerapan kebijakan lanjutan uang muka minimum atau loan to value (LTV) oleh Bank Indonesia.
Ketua Komite Tetap Kebijakan Bidang Properti dan Kawasan Industri Kadin F. Teguh Satria mengatakan sulit memahami hubungan antara kenaikan harga properti dan kebijakan LTV atau pembayaran uang muka minimal 30% seperti yang telah sudah diterapkan sebelumnya.
“Saya tidak paham, sejauh mana sebetulnya hubungan harga properti yang terus naik dengan penetapan kebijakan LTV. Kalau LTV diterapkan untuk meredam kenaikan harga, saya tidak melihat kaitannya. Ini bukan masalah uang muka,” ujarnya saat dihubungi Bisnis, Senin (3/6/2013).
Teguh yang juga menjabat sebagai Ketua Badan Pertimbangan Organisasi Realestat Indonesia itu menjelaskan kenaikan harga terjadi karena hubungan permintaan dan jumlah pasokan. Harga yang tinggi, dipengaruhi oleh tingginya permintaan ,sementara jumlah pasokan sangat terbatas.
Selain itu, sambungnya, kenaikan tersebut juga dipicu oleh kenaikan harga tanah, karena pemerintah tidak mampu menyediakan infrastruktur yang memadai.
BI menilai permintaan atas rumah terus tumbuh. Booming harga properti di segmen menengah ke atas (tipe di atas 70 m2) dapat membuat harga rumah tipe kecil menjadi kian mahal dan tidak terjangkau. Oleh sebab itu, BI mempertimbangkan kebijakan lanjutan aturan LTV 70% yang berlaku pada awal tahun lalu.
Untuk pengajuan kredit properti rumah kedua, BI menilai bisa dikenai LTV yang lebih kecil atau uang muka yang lebih tinggi. Namun, kebijakan tersebut masih menunggu keputusan pemerintahdi bidang subsidi bahan bakar minyak.
Teguh mengatakan penerapan aturan LTV lanjutan ini dinilai tidak tepat sasaran jika tujuan BI adalah untuk mencegah munculnya spekulasi, karena umumnya spekulan melakukan pembelian secara tunai.