BISNIS.COM, JAKARTA--Alokasi subsidi listrik diusulkan menjadi Rp99,97 triliun dalam anggaran pendapatan dan belanja perubahan (APBNP) 2013, atau lebih besar sekitar 23,52% dibandingkan alokasi subsidi listrik dalam APBN 2013 yang sebesar Rp80,93 triliun.
Jarman, Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengatakan alokasi subsidi listrik sebesar Rp99,97 triliun itu terdiri dari subsidi listrik berjalan sebesar Rp87,23 triliun dan pembayaran kekurangan pembayaran subsidi pada 2012 sebesar Rp13,225 triliun. Jumlah tersebut juga sudah termasuk pengalihan pembiayaan (carry over)pada 2014 sebesar Rp7,82 triliun.
“Pada APBN 2013 belum memasukkan kekurangan pembayaran subsidi pada 2012. Tetapi setelah diaudit BPK [Badan Pemeriksa Keuangan] kekurangan itu haru dibayarkan tahun ini, sehingga alokasi subsidi listrik meningkat,” katanya di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (23/5/2013).
Jarman mengungkapkan kenaikkan subsidi listrik itu lebih dikarenakan perubahan asumsi kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dan harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP). Dalam APBN 2013, kurs yang ditetapkan adalah Rp9.300 per dolar AS, dengan ICP sebesar US$100 per barel.
Sedangkan dalam usulan APBNP 2013, Pemerintah menggunakan asumsi kurs Rp9.600 per dolar AS dan ICP sebesar US$108 per barel. Selama ini, kurs rupiah terhadap dolar AS dan ICP memang sangat mempengaruhi biaya pokok produksi (BPP) dan subsidi listrik.
Dengan kurs Rp9.300 per dolar AS dan ICP US$100 per barel, maka BPP listriknya Rp1.160 per kilo watt hour (kWh) dan subsidi yang diperlukan Rp80,06 triliun. Sedangkan pada kurs Rp9.600 per dolar dan ICP US$108 per barel, maka BPP listrik menjadi Rp1.198 per kWh dan subsidi melonjak menjadi Rp87,24 triliun.
Selain itu, peningkatan subsidi juga terjadi karena penggunaan bahan bakar minyak (BBM) yang meleset dari target dalam APBN 2013. Alasannya, saat ini pembangunan beberapa proyek pembangkit listrik yang diproyeksikan dapat menggantikan pembangkit listrik tenaga diesel mundur dari jadwal yang telah ditetapkan.
Jarman mencontohkan mundurnya proyek kabel listrik bawah laut Jawa-Bali dari yang sebelumnya ditargetkan selesai pada Desember 2012 menjadi pertengahan 2013, menyebabkan PLN harus menggunakan BBM untuk memenuhi kebutuhan listrik di Bali.
Sementara Kepala Divisi Niaga PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Benny Marbun mengatakan konsumsi listrik periode Januari-April 2013 yang sebesar 59,08 terawatt hour (TWH) juga ikut mempengaruhi peningkatan subsidi listrik tahun ini. Pasalnya, jumlah tersebut lebih tinggi 6,97% dibandingkan konsumsi listrik di periode yang sama tahun lalu yang sebesar 55,23 TWH.
Apalagi, pertumbuhan konsumsi listrik itu harus dipenuhi dari pembangkit listrik yang menggunakan BBM. “Memang ada beberapa wilayah yang mengalami pertumbuhan konsumsi listrik harus dipenuhi dari pembangkit listrik berbasis BBM, karena di daerah tersebut tidak ada pilihan lain,” jelasnya.
Menurutnya, selama ini PLN juga memprioritaskan pembangkit listrik non-BBM untuk memenuhi kebutuhan listrik masyarakat. Akan tetapi, wilayah seperti Sumatra Utara, Kalimantan Barat, Bali dan Jayapura masih harus menggunakan pembangkit listrik berbasis BBM.