BISNIS.COM, JAKARTA—Tingkat penghunian kamar atau okupansi hotel di seluruh provinsi pada Maret turun 0,47 poin persen menjadi 52,2% bila dibandingkan dengan Maret 2011. Hal ini menunjukkan bahwa low season masih mempengaruhi meskipun okupansi hotel di beberapa provinsi telah naik.
Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Wiryanti Sukamdani mengatakan kenaikan okupansi hotel disebabkan daerah tersebut merupakan tujuan bisnis, tidak hanya wisata. Bagi daerah yang mengandalkan okupansi dari pariwisata, 3 bulan awal tahun ini akan sepi.
“Bali dan Jakarta saya pikir sudah mulai naik karena MICE [meeting, incentive, conference, exhibition]. Namun, untuk daerah kota kecil seperti di Solo, Bandung, dan Cirebon sepertinya masih belum maksimal karena masih tergantung turis wisata,” kata Wiryanti disela-sela konferensi Indonesia Hospitality & Tourism Investment, Selasa (7/3/2013).
Dia menambahkan siklus low season biasanya terjadi pada Januari sampai Maret. Diperkirakan okupansi kamar mulai stabil pada April.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) okupansi hotel pada Maret 2013 mencapai 52,2% sedangkan tahun sebelumnya sebanyak 52,67%. Bila dibandingkan dengan Februari 2013 yang hanya 49,18%, okupansi hotel mengalami kenaikan sebesar 3,02%.
Penurunan tingkat okupansi ini juga turut mempengaruhi rata-rata penghunian kamar menurut klasifikasi hotel berbintang. Hanya bintang lima dan satu yang mengalami kenaikan hingga 3,96% dan 0,27%. Bintang dua, tiga, dan empat masing-masing turun 1,75%, 2,84%, 1,58%.
Kenaikan okupansi hotel bintang lima, lanjutnya, lebih dipengaruhi oleh kegiatan yang bersifat bisnis. Berbeda dengan hotel bintang satu hingga empat yang mayoritas dihuni oleh masyarakat dengan motif wisata.
Faktor inilah yang dinilai Wiryanti juga menyebabkan rata-rata menginap tamu asing dan Indonesia menurun. Selama Maret 2013 rata-rata menginap keduanya mengalami penurunan 0,03 hari yang mencapai 1,98 hari.
Bila dibandingkan dengan Februari 2013 mengalami kenaikan hingga 0,07 hari. Meskipun demikian, rata-rata lama menginap tamu asing lebih banyak dibandingkan dengan tamu domestik dengan durasi 2,87 hari dan 1,76 hari.
“Mereka yang mempunyai kepentingan berbisnis tidak akan menginap dalam waktu yang lama, akan buang-buang waktu. Itulah yang menjadi sebab rata-rata lama menginap Jakarta lebih sedikit dibandingkan dengan Bali atau Lombok,” tuturnya.
Total rata-rata lama tinggal tamu asing dan domestik di Jakarta hanya 1,94 hari, berbeda jauh dengan Bali dan Nusa Tenggara Barat yang mencapai 3,27 hari dan 2,70 hari. (mfm)