BISNIS.COM, JAKARTA – Pengaruh kenaikan harga bahan bakar bersubsidi terhadap inflasi diperkirakan 2%-2,5% dengan asumsi tidak ada pergerakan harga pada komoditas lain.
Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi mengatakan angka itu merupakan kisaran tertinggi yang muncul jika BBM bersubsidi dinaikkan dari Rp4.500 menjadi Rp6.000 per liter.
Berdasarkan simulasi perhitungan matematis saat kenaikan harga BBM pada 2008, kontribusi komponen biaya bahan bakar terhadap biaya transportasi paling tinggi berkisar 25%-27%.
Adapun andil biaya transportasi terhadap harga produk makanan olahan dan pangan segar maksimum 12%-13%.
“Tapi, ini hitungan matematis dengan asumsi semua harga lain tetap. Kalau terjadi peningkatan produksi karena panen sehingga deflasi, ceritanya akan lain lagi. Kalau kemudian kita akan berikan support pada mereka yg berpendapatan rendah, ceritanya akan lain,” katanya, Selasa (30/4/2013).
Dampak itu pun, lanjutnya, akan berkurang jika pemerintah melakukan realokasi anggaran subsidi BBM kepada masyarakat berpendapatan rendah.
Realokasi anggaran melalui program bantuan langsung tunai itu harus direalisasikan sebelum tahun ajaran baru dan Ramadhan yang dalam siklus inflasi biasanya mencapai titik tertinggi.
“Ini harus mendapatkan perhatian sehingga daya beli masyarakat tidak berkurang,” ujarnya.
Bayu menuturkan pihaknya belum menghitung seberapa signifikan pengaruh kenaikan harga BBM terhadap penyusutan impor minyak dan gas (migas).
Namun, paling tidak kebijakan itu mampu mengerem konsumsi di dalam negeri yang selanjutnya mengurangi permintaan terhadap BBM impor.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor hasil minyak pada 2012 mencapai US$28,68 miliar dan membentuk defisit neraca perdagangan migas hingga US$5,59 miliar. Sementara, surplus neraca perdagangan nonmigas hanya US$3,97 miliar.(msb)