Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

LISTRIK SAMPAH, Solusi Krisis Energi dan Polusi Lingkungan

BISNIS.COM, JAKARTA--Landfill gas dari dekomposisi sampah dianggap sebagai salah satu solusi yang menjanjikan untuk mengatasi krisis energi yang terjadi akibat melonjaknya konsumsi bahan bakar minyak (BBM).

BISNIS.COM, JAKARTA--Landfill gas dari dekomposisi sampah dianggap sebagai salah satu solusi yang menjanjikan untuk mengatasi krisis energi yang terjadi akibat melonjaknya konsumsi bahan bakar minyak (BBM).

Landfill gas yang memiliki komposisi 30%-60% metana (CH4) dan 70%-40% karbon dioksida (CO2) itu dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar untuk pembangkit listrik. Pemanfaatan itu sekaligus menekan polusi lingkungan yang dimunculkan oleh metana sebagai gas rumah kaca yang memicu pemanasan global.

Pemerintah sendiri saat ini terus menyelesaikan aturan untuk menjaga iklim investasi di sektor pembangkit listrik berbasis sampah dapat hidup di dalam negeri. Pasalnya, pengelolaan sampah untuk dimanfaatkan sebagai sumber energi primer pembangkit listrik masih memerlukan biaya yang tidak sedikit.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik sempat menyebut pemanfaatan sampah merupakan solusi yang paling efisien untuk konservasi energi. Pemanfaatan sampah untuk pembangkit listrik itu sekaligus dapat membantu pemerintah daerah untuk menjadikan wilayahnya bersih.

Hal itu ditindaklanjuti Kementerian ESDM dengan terus melakukan revisi terhadap feed in tarif listrik dari pembangkit listrik berbasis sampah (PLTSa).

Feed in tariff sebesar Rp1.050 per kilo watt hour (kWh) untuk PLTSa zero waste dan Rp850 per kWh untuk PLTSa landfill (masih menyisakan sampah) dianggap kurang menarik dan terlalu kecil. Apalagi, kemampuan pemerintah daerah untuk menyediakan biaya pengelolaan sampah (tipping fee) sangat terbatas.

Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Rida Mulyana mengatakan seharusnya pemerintah daerah menanggung tipping fee untuk tempat pembuangan sampah yang dimanfaatkan sebagai sumber energi pembangkit listrik.

“Kenyataannya masih ada daerah yang tidak memberikan tipping fee, makanya feed in tariff untuk PLTSa kami revisi agar sesuai dan tetap menarik bagi investor,” katanya.

Upaya pemerintah tersebut pun langsung disambut dengan upaya investor mengembangkan PLTSa di dalam negeri. PT Pertamina (Persero) bertekad mengembangkan PLTSa dengan kapasitas 120 megawatt di tempat pembuangan sampah terpadu (TPST) Bantargebang, Bekasi.

PLTSa dengan investasi sekitar US$300 juta itu diproyeksikan akan mulai beroperasi pada 2016. Teknologi yang dimanfaatkan pun biomass municipal solid waste to power agar pemanfaatan sampah dapat dilakukan secara maksimal hingga mencapai zero waste.

Untuk dapat memenuhi kebutuhan energi pembangkit listrik berkapasitas 120 megawatt itu dibutuhkan sekitar 2.000 ton sampah per hari. Sampah tersebut didatangkan dari wilayah Jabodetabek yang yang dikirim ke Bantargebang.

Saat ini, Pertamina dan PT Godang Tua Jaya telah sepakat menetapkan Solena Fuels Corporation sebagai mitra penyedia teknologi dalam proyek PLTSa itu. Hal itu ditandai dengan penandatanganan Joint Development Agreement (JDA) antara Direktur Gas Pertamina Hari Karyuliarto, Executive Vice President Solena Yves Bannel, dan Direktur Utama PT Godang Tua Jaya Rekson Sitorus.

Penandatanganan JDA itu sendiri merupakan tindak lanjut dari kesepakatan awal antara Pertamina dan Godang Tua Jaya pada 8 Oktober 2012 untuk mengembangkan PLTSa di Bantargebang.

Jauh sebelum Pertamina merencanakan mengelola sampah di Bantargebang, PT Navigat Organik Energy telah memulai aktivitasnya memanfaatkan landfill gas untuk pembangkit listrik. Navigat yang telah masuk ke Bantargebang sejak 2010 lalu telah mengoperasikan PLTSa dengan kapasitas listrik yang dihasilkan 10 megawatt.

Pemanfaatan landfill gas di Bantargebang sendiri belum maksimal lantaran sampah yang datang masih bercampur antara sampah organik dengan sampah nonorganik. Akan tetapi, hal itu masih dapat diatasi dengan hadirnya para pemulung yang memilah sampah nonorganik untuk kemudian dibawa ke tempat daur ulang.

Lulu, salah seorang supervisor operasional PLTSa milik Navigat di Bantargebang mengatakan selama ini telah terjalin hubungan yang saling menguntungkan antara pemulung di TPST dengan pengelola sampah untuk pembangkit listrik. Pasalnya, pihaknya hanya membutuhkan sampah organik untuk menghasilkan landfill gas.

“Mereka [pemulung] kan mengambil sampah nonorganik, itu membantu kami juga sebenarnya. Karena memang kami membutuhkan yang organik agar dapat menghasilkan landfill gas,” jelasnya.

Saat ini sendiri, PLTSa itu telah memanfaatkan sampah di 5 lapangan pembuangan TPST Bantargebang. Perusahaan sendiri lebih memilih untuk memanfaatkan sampah baru dibandingkan sampah yang telah lama mengendap, karena memiliki kualitas dan volume gas yang lebih baik.

Akan tetapi, minimnya infrastruktur milik PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) untuk menyalurkan listrik dari PLTSa itu kerap menjadi kendala tersendiri bagi perusahaan. Terkadang, infrastruktur milik PLN mengalami gangguan dan mengakibatkan listrik yang dihasilkan dari PLTSa tersebut tidak dapat dialirkan.

Akibatnya, perusahaan harus membakar landfill gas untuk menghabiskan gas metana yang terkandung dari gas hasil dekomposisi sampah itu. “Gasnya kami bakar agar metana berubah menjadi karbon dioksida. Itu juga sebenarnya kami akan di bayar oleh PBB [perserikatan bangsa-bangsa], tapi tidak semenguntungkan dibanding mengelolanya menjadi listrik,” jelasnya.

Selain di Bantargebang, Bekasi, pengembangan PLTSa juga dilakukan di sejumlah daerah. Di Gedebage, Jawa Barat, proses pembangunan PLTSa Gedebage telah masuk dalam proses tender, 3 perusahaan telah lolos tahap prakualifikasi adalah PT Bandung Raya Indah Lestari, PT Sound Environmental dan PT CTCI.

Targetnya, pada akhir 2016 mendatang PLTSa itu sudah dapat beroperasi secara komersial. Proyek senilai Rp630 miliar itu pun diharapkan dapat mulai dikerjakan pada awal 2014 sehingga waktu pengerjaan selama 18-24 bulan dapat terpenuhi.

Untuk memuluskan proyek itu, rencananya akan dibangun akses menuju PLTSa dari Tol Purbaleunyi di kilometer 151 dan 149. Hal itu dilakukan agar truk pengangkut sampah tidak melewati pemukiman penduduk.

Selain itu, di Pekanbaru, Riau, juga rencananya akan dibangun PLTSa dengan kapasitas 10 megawatt. Padahal, Wali Kota Pekanbaru Firdaus mengatakan limbah sampah yang dihasilkan di Kota pekanbaru dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan listrik sebesar 40 megawatt.

Bahkan, saat ini telah ada Memorandum of Understanding (MoU) antara G20 Environmental Solutions Group (ESG) dengan Riau Investment Corp dan PD Pembangunan Pekanbaru terkait pelaksanaan pembangunan PLTSa itu.

Nantinya, ESG akan mengelola mesin pembangkit listrik berbasis sampah dengan teknologi terbaru di Pekanbaru. Selain itu, ESG juga akan menyediakan Rp600 miliar untuk 4 mesin pembangkit listrik berkapasitas 10 megawatt.

Naiknya usulan feed in tariff PLTSa diharapkan mampu mendongkrak minat investor yang ingin mengembangkan PLTSa di dalam negeri agar sejalan dengan upaya Pemerintah mendorong pemanfaatan energi baru dan terbarukan.

Hal itu juga diharapkan mampu menjadi solusi dari target penggunaan energi baru terbarukan sebesar 25% dalam bauran energi primer pada 20125 seperti yang diusulkan oleh Dewan Energi Nasional. Saat ini sendiri porsi penggunaan energi baru terbarukan hanya sekitar 5,7%, padahal Perpres No. 5/2006 mengamanatkan penggunaannya menjadi 17% pada 20125.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Lili Sunardi

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper