BISNIS.COM, SEMARANG – Asosiasi Eksportir dan Produsen Handicraft Indonesia (Asephi), terutama yang begerak dalam sektor batik meminta pemerintah untuk serius mempersiapkan produk hulu demi memudahkan pengrajin dalam memperoleh bahan baku untuk memproduksi batik.
Ketua Asosiasi Eksportir dan Produsen Handycraft Indonesia (Asephi) Kota Pekalongan Romi Oktabirawa mengatakan hampir 80% dalam tubuh batik, bahan bakunya masih impor, sisanya hanya mengandalkan tenaga kerja pengrajinya saja.
“Kalau boleh cerita, hampir 80% dalam tubuh batik itu dari impor, mulai dari kain mori sebagai bahan baku kain batiknya, lilin untuk membatik juga masih impor. Yang asli lokal paling hanya tenaga kerjanya saja,” tutur produsen handycraft jenis batik itu, Minggu (7/4/2013).
Romi yang juga Ketua Paguyuban Pecinta Batik tersebut mengatakan bahwa pemerintah harus serius membangun produk hulu sehingga pengrajin semakin mudah dalam mendapatkan bahan baku dan tidak terlalu bergantung dari impor.
“Karena kalau tidak maka pengrajin batik akan semakin tertekan keberadaannya mengingat harga bahan impor cenderung terus mengalami kenaikan, sementara kalau tidak impor tidak bisa berproduksi,” tuturnya.
Dia mengatakan saat ini harga kain mori, sebagai bahan kani utama batik, sudah mengalami kenaikan harga sekitar 25%, karena selama ini untuk membuat kain mori yang bahan utamanya kapas masih mengandalkan impor, selain itu untuk lilin juga masih mengandalkan impor.
Apalagi, lanjutnya saat ini para pengrajin dihadapkan dengan kebijakan kenaikan Tarif Tegangan Listrik (TTL) sebesar 15% secara bertahap hingga setahun kedepan, tentu akan mengakibatkan sejumalh industri melakukan penyesuaian, dan ini dipastikan dmpaknya berantai.
“Ini akan semakin membuat kami tertekan, ditengah sejumlah harga bahan baku batik yang terus naik. Sementara kami tidak berani menaikkan harga jual produk terlalu tinggi seiring persaingan bisnis batik yang semain ketat,” tuturnya.
Pihaknya memilih mengurangi margin yang diperoleh meskipun tetap melakukan penyesuaian harga jual produknya, mengingat kemampuan daya beli masyarakat yang belum begitu baik, apalagi untuk pasar luar negeri yang masih belum pulih dari krisis.
“Harga produk maksimal akan naik antara 10%-15% saja, karena mempertimbangkan daya beli masyarakat, meskipun bermacam tantangan sudah menghadang, mulai dari masih lesunya pasar luar negeri, harga bahan baku naik, daya beli masyarakat domestik maupun soal kebijakan pemerintah menaikkan TTL,” ujarnya. (dot)