BISNIS.COM, JAKARTA: Kalangan akademikus menolak RUU Pemberantasan Perusakan Hutan terkait dengan masih ketidakjelasan sejumlah pasal dalam rancangan aturan tersebut, di antaranya soal pembalakan liar.
RUU Pemberantasan Perusakan Hutan saat ini tengah dibahas oleh DPR RI secara tertutup sehingga publik tidak dapat mengawasi dan memberikan masukannya.
Kalangan akademikus pun memberikan penilaiannya kepada rancangan aturan tersebut, di antaranya adalah Sudarsono Soedomo, Guru Besar Kehutanan IPB.
"Salah satunya definisi pembalakan liar pada Pasal 1 a yang sangat berbahaya. Pembalakan liar adalah semua kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu secara tidak sah yang terorganisasi.
Sah dan tidak sah sangat tergantung dari kekuasaan pemerintah," kata Sudarsono dalam keterangan pers di Jakarta, Selasa (26/3/2013).
Menurutnya, pemanfaatan hasil hutan kayu di lahan milik mungkin saja tidak sah jika pemerintah menyatakan demikian.
Sudarsono juga mempertanyakan apakan memanfaatkan hasil hutan kayu dari hutan milik sendiri tanpa persetujuan pemerintah dapat dikategorikan pembalakan liar.
Guru Besar Kehutanan IPB lainnya, Hariadi Kartodihardjo, mengatakan banyak pengertian dan pasal-pasal yang harus diperbaiki karena dapat menjadikan masyarakat sebagai korban.
Menurutnya, yang dibutuhkan sekarang adalah revisi UU Kehutanan, bukan membahas RUU Pemberantasan Perusakan Hutan.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas, Shinta Agustina, mengatakan pasal-pasal yang mengatur tindak pidana tidak memperlihatkan sistematikan dan pengelompokkan yang jelas.
Selain itu, paparnya, pasal dalm RUU tersebut justru mengatur secara ganda atas satu perbuatan dalam beberapa pasal, serta kerancuan tentang penyidik PNS mengenai kewenangannya.
Koalisi Anti Mafia Hutan menyatakan RUU tersebut cacat hukum dan cacat substansi karena justru tidak akan mampu menyelesaikan persoalan perusakan hutan.
Selain itu, papar koalisi itu, rancangan tersebut justru dapat menghambat korupsi di sektor kehutanan dan berpotensi mengkriminalisasi masyarakat.
"RUU ini justru diarahkan untuk menyelamatkan perusahaan tambang dan perkebunan dan justru akan menjadi alat baru mengkriminalisasi serta memisahkan rakyat dari sumber kehidupannya," ujarnya. (ra)