BISNIS.COM, JAKARTA—Bank Indonesia menghadapi sejumlah tantangan, baik internal maupun eskternal, dalam tugasnya menjaga stabilitas perekonomian dalam negeri.
Menteri Keuangan Agus D.W. Martowardojo mengungkapkan tantangan eksternal yang dihadapi Indonesia adalah belum pastinya pemulihan ekonomi global terutama di negara maju seperti Eropa dan Amerika Serikat.
Ketidakpastian ini, jelasnya, menyebabkan arus modal asing mencari wilayah lain untuk menempatkan dirinya, salah satunya Indonesia.
“Dorongan fluktuasi arus modal asing yang semakin deras dan jika tak diantisipasi dengan instrumen jangka panjang akan menyebabkan asset bubble dan risiko pembalikan modal atau capital reversal,” paparnya di uji kepatutan dan kelayakan sebagai calon Gubernur Bank Indonesia yang diadakan Komisi XI DPR, Senin (25/3).
Tantangan eksternal lain adalah fluktuasi dan kenaikan harga energi dan pangan akibat adanya kekurangan pasokan dunia dan reorientasi pemodal ke bursa komoditas dunia. Selain itu, lesunya permintaan komoditas dunia juga termasuk tantangan eksternal yang perlu diperhatikan Bank Indonesia.
Pasalnya, kelesuan ini mengakibatkan kinerja ekspor menurun dan memberikan tekanan pada transaksi berjalan Indonesia yang pada akhirnya ikut mempengaruhi stabilitas nilai tukar rupiah.
Adapun, tantangan internal yang dihadapi Bank Indonesia adalah tekanan laju inflasi yang dirasakan dalam dua bulan terakhir, Januari dan Februari, yang mencapai level 1,79% year-to-date. Menurutnya, tekanan inflasi tersebut lebih tinggi dibandingkan rata-rata historis dalam periode yang sama sejak 5 tahun terakhir, yaitu 1,28%.
Lebih lanjut, calon tunggal Gubernur BI ini menyampaikan aksesibilitas masyarakat ke sistem keuangan formal juga menjadi tantangan internal yang harus diselesaikan BI. Aksesibilitas masyarakat, lanjutnya, menjadi penting sebagai pendukung upaya pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan dan mendorong pemerataan pendapatan.
Dibandingkan negara sekawasan seperti Thailand dan Malaysia, Indonesia jelas tertinggal terkait aksesibilitas masyarakat ke sektor keuangan formal. Agus Marto mengungkapkan hanya 19,7% masyarakat Indonesia yang memiliki akses pinjaman, lbih rendah dari Thailand sebanyak 27% dan Malaysia sebanyak 96%.
Padahal, imbuhnya, aksesibilitas ke sektor keuangan formal turut membantu penurunan gini ratio yang saat ini kecenderungannya semakin meningkat, yang pada 2011 telah mencapai 0,41.
Agus Marto juga menyoroti tantangan internal di dalam struktur organisasi Bank Indonesia itu sendiri sejak diberlakukannya UU no.21/2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
“Restrukturiassi sistem keuangan kini bertambah kompleks, makanya perlu penyesuaian beberapa peraturan, seperti UU perbankan, UU BI, RUU usaha perasuransian, dan juga diperlukan koordinasi antara Kemenkeu, BI, OJK, dan LPS,” jelasnya.