Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

HARGA DAGING: Banyak pihak bermain

Impor daging sapi beku (ton) & sapi bakalan (ton)

Impor daging sapi beku (ton) & sapi bakalan (ton)

Tahun

Daging sapi beku

Sapi bakalan

2010

120.000

600.000

2011

100.000

400.000

2012

41.000

283.000

Sumber: Kementan

Kini kisruh pasokan daging kembali terjadi. Hanya saja kali ini soal melonjaknya harga daging. Fakta ini akibat pasok daging ke pasar jauh di bawah permintaan? Ditengarai banyak hal yang menjadi peletup munculnya kasus harga daging ini. Namun, dua hal hal yang paling mengemuka, ulah importir dan ketidakmampuan pasok daging dari peternak lokal.

Menelisik masalah harga daging, bukan hal yang rumit. Paling mudah adalah efek tidak seimbangnya permintaan dan pasokan. Persoalannya, kenapa pasokan daging tidak mampu memenuhi kebutuhan atau permintaan?

Sejauh ini, fakta yang sudah dan sering terdeteksi, meskipun masih bisa diperdebatkan, penahanan stok atau stok tertahan. Ini merujuk pernyataan Ketua Umum Perhimpunan Peternak Sapi-Kerbau Indonesia Teguh Boediyana. Dia memperkirakan saat ini ada stok sekitar 100.000  ekor lebih di gudang mereka [importir]. Namun, stok itu tertahan.

Dia meminta perusahaan importir daging dan sapi bakalan didesak untuk melepaskan stok mereka ke pasar guna mengatasi lonjakan harga daging di pasaran.

Kuota impor sapi bakalan (sapi umur 2 tahun/ekor)

Tahun

Jumlah

2010

600.000

2011

400.00

2012

280.00

Sumber: Kementan

Ulah nakal importir? Boleh jadi. Karena di negeri ini, ulah nakal segelintir importir daging, kerap terjadi berulang-ulang dan tidak ada penyelesaian yang berarti. Pelaku tetap saja masih melakukan impor daging. Sekalipun, mereka juga melakukan aksi impor illegal dengan memasukkan daging dari negara yang tegas dilarang seperti India.

Saya masih ingat soal kasus masuknya daging impor secara ilegal pada Januari 2011 sebanyak 51 kontainer setara 9000 ton, serta Februari 2011 sebanyak 92 kontainer setara 1.500 ton, yang hingga kini tak ejlas ujungnya, membuktikan masih adanya peluang melakukan spekulasi. Importir memasukkan barang dulu baru mengurus Surat Pemberitahuan Pemasukan (SPP) daging atau sapi.

Para importir sangat mengetahui kondisi daging di Tanah Air. Data berapa pasok daging ke pasar setiap hari dan kapan permintaan bakal melonjak, dikuasai mereka. Itu mengapa mereka pun begitu mudah meraup untung dan masyarakat dengan mudah diperdaya dan seakan ‘dipaksa’ menerima kenyataan bahwa harga daging naik secara wajar. Tanpa protes.

Kondisi ini bisa terjadi. Lantaran pasok daging ‘dikuasai’ olah sejumlah importir yang itu-itu saja. Kendati ada sejumlah perusahaan, tetapi pemiliknya dia dia juga.

Jika ada pemain di luar ‘grup’ mereka, jumlah kuota daging yang dimiliki, relatif kecil. Sehingga, pasokannya tidak akan memberikan pukulan berarti kepada pasar.

Dengan kondisi pemain yang terbatas  dan dalam jumlah yang besar, bisa dibayangkan, betapa mereka bisa memainkan harga. Untuk membuat harga daging tidak stabil, mereka cukup memainkan waktu tiba kuota impor daging mereka dari jadwal yang sudah ditetapkan saat mengajukan izin impor. Sekali lagi, itu bisa dilakukan karena izin impor dalam jumlah besar hanya dipegang oleh segelintir importir.

Maka, saat mereka bersepakat [membentuk kartel], dan waktu masuk impor daging disepakati untuk ‘dimundurkan’ satu pekan, tak bisa dipungkiri, mampu membuat harga daging bergejolak. Apalagi, selama ini persoalan seperti ini, tidak mendapatkan pengawasan yang ketat dari pemerintah. Bahkan, pemerintah berkesan ‘tidak tahu menahu’. Termasuk kiat mereka yang memainkan stok daging impor mereka dengan menahan beberapa saat di gudang, menunggu harga naik, baru dilepas.

Namun, untuk kali ini, rekayasa harga --jika bisa dikatakan demikian-- sepertinya agak sulit dilakukan oleh importir. Kali ini, segelintir importir yang kerap nakal, nampaknya, tidak mau bermain api. Boleh jadi,  mereka bertobat untuk tidak menjalankan praktik busuk.

Jadi, kenapa? Yah, inilah sulitnya jika bangsa ini pemimpinnya suka dengan pencitraan. Ketika terjadi masalah akibat kebijakannya dan implikasi buruknya dirasakan masyarakat, mereka enggan mengemukakan kesalahan. Tidak mau ngasih tahu, bahwa asap itu ada karena ada api dan api itu dibakar oleh penguasa.

Pada November tahun lalu, pemerintah mengatakan populasi sapi di Indonesia mencapai 15,4 juta ekor berdasarkan hasil akhir Pendataan Sapi Perah, Sapi Potong dan Kerbau (PSPK 2011) oleh BPS dan Kementan.

Jumlah sapi potong mencapai 14,8 juta ekor, sapi perah 597.200 ekor dan kerbau 1,3 juta ekor. Jika dibandingkan dengan Sensus Pertanian 2003 sebanyak 10,2 juta ekor, rata-rata pertumbuhan populasi sapi selama 8 tahun sebesar 5,33% per tahun. Jumlah rata-rata pengangkaan dari persentase sebesar 655.500 ekor setiap tahunnya.

Namun, jumlah itu kini dipertanyakan. Jika benar, kenapa pasok tidak mampu memenuhi permintaan? Apalagi, jatah kuota impor daging tahun ini, pun resmi dikurangi secara drastis oleh pemerintah. Dari sekitar 90.000-an ton pada tahun lalu menjadi 34.000 ton pada tahun ini.

Begitupun kuota impor sapi bakalan (sapi umur 2 tahun) telah dikurangi 30% untuk kuota tahun ini. Kuota dipangkas dari 400.000 ekor menjadi 280.000 ekor. Kemudian, kuota impor daging pun dikabarkan sudah habis –jika ada paling-paling tersisisa sekitar 50% dari kuota untuk industri yang totalnya 8.500 ton.

Pemerintah perlu kerja cepat. Kini, harga daging terus bergerak naik. Sebagai langkah darurat, kalau sapi loka lamsih ada, pemerintah beli saja sapi itu melalui PD Dharma Jaya dan mendistribusikan ke pasar. Sebab ada laporan, untuk mengatasi kelangkaan daging di pasar, kabarnya, ada importir yang sudah akan melakukan impor. Tapi  secara illegal. Ini perlu diwaspadai pemerintah.

Sikap pemerintah yang akan memasok 22.000 ekor sapi potong untuk mengatasi kelangkaan daging sapi, perlu disambut baik. Pertanyaannya, sapi usia berapa? Apakah yang bisa diperbuat pemerintah agar para peternak sapi mau mengeluarkan sapinya? Bagaimana soal harganya? Bukankah 17.000 ekor sapi ini milik asosiasi penggemukan sapi lokal ? Lalu 5.000 sapi lainnya dari peternakan rakyat?

Program swasembada daging gagal. Benarkah ? Kalau produksi daging lokal tersedia, gejolak harga pasti tak akan terjadi. Nampaknya, swasembada daging 2014 perlu dilihat ulang. Kasihan, pengusaha kapal disalahkan karena ‘mengganggu’ distribusi sapi dari pusat produksi. (msb)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Sumber : Martin Sihombing

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper