JAKARTA: Kebijakan pengetatan rasio penyaluran kredit perumahan dan otomotif dinilai akan menekan impor barang konsumsi Indonesia yang cenderung meningkat dalam beberapa tahun terakhir seiring kenaikan daya beli masyarakat.
Destry Damayanti, Kepala Ekonom Bank Mandiri, menilai kebijakan pengetatan rasio penyaluran kredit (loan to value/LTV) yang berlaku sejak pertengahan Juni lalu akan menurunkan permintaan kredit yang akhirnya memperlambat impor barang konsumsi terutama kendaraan bermotor.
“Khusus untuk otomotif kebijakan LTV yang lebih banyak terkena adalah motor dibandingkan dengan mobil. Kalau permintaan turun jelas akan mengakibatkan impor kendaraan bermotor itu slowdown,” ujarnya kepada Bisnis hari ini, Minggu (22/7/2012).
Sementara itu, untuk kredit kepemilikan rumah (KPR) dampaknya akan terasa bagi rumah mewah meskipun dinilai tidak signifikan. Rumah mewah, paparnya, selama ini banyak menggunakan barang impor dibandingkan dengan produksi dalam negeri.
Sejak 15 Juni lalu, bank sentral mulai memberlakukan pengetatan LTV bagi KPR dan kredit otomotif (kredit kendaraan bermotor/KKB). Bagi rumah yang memiliki luas 70 m2 ke atas dikenakan LTV maksimal 70% atau uang muka minimal 30%.
Sementara itu, bagi KKB dikenakan secara beragam, yakni mobil minimal uang muka 30%, motor 25% dan kendaraan niaga 20%.
Menurut Destry, pelambatan impor barang konsumsi perlu dilakukan meskipun pertumbuhannya masih di bawah rata-rata impor keseluruhan.
“Sebenarnya masih dalam taraf belum mengkhawatirkan. Namun kalau impor barang konsumsi berlanjut tentunya akan mematikan industri Indonesia,” jelasnya.
Apalagi sebagian barang konsumsi impor tersebut sebenarnya telah diproduksi di dalam negeri. Dengan pelambatan tersebut, kapasitas produksi dalam negeri diharapkan dapat meningkat seiring dengan kenaikan daya beli masyarakat.
Hartadi A. Sarwono, Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) ketika dikonfirmasi juga berpendapat hal yang serupa. Menurut dia, pelambatan impor barang tersebut tergatung pada permintaan atas KPR dan kredit otomotif.
“Bisa saja terjadi impor barang terkait kegiatan properti dan otomotif melambat bila permintaan terhadap properti dan otomotif melambat karena ketentuan LTV,” ujarnya.
Namun, setelah sebulan kebijakan tersebut diberlakukan, bank sentral belum melihat adanya pelambatan terhadap KPR dan KKB.
“Kami lihat secara data memang belum ada buktinya terjadi pelambatan atau penurunan KPR dan KKB. Kalau melihat data demand [permintaan] dari masyarakat masih ada,” ujar Yunita Resmi Sari, Deputi Direktur Grup Stabilitas Sistem Keuangan Bank Indonesia (BI), pekan lalu.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), impor barang konsumsi mencapai US$5,59 miliar pada periode Januari—Mei 2012, meningkat 6,13% dari setahun sebelumnya. Sementara itu, impor kendaraan bermotor mencapai US$4,02 miliar dan meningkat 45,79% dari setahun yang lalu.
Pada Mei lalu, neraca transaksi berjalan Indonesia mengalami defisit karena lebih tingginya impor dibandingkan ekspor tanah air. Impor banyak terjadi pada barang modal dan bahan baku.
Meski demikian secara kumulatif nilai ekspor periode Januari—Mei 2012 masih sedikit lebih tinggi dibandingkan impor. Ekspor tercatat US$81,42 miliar, sementara impor US$79,9 miliar. (sut)