JAKARTA: Belanja pemerintah dinilai belum dapat mendorong pertumbuhan ekonomi secara optimal, pasalnya dampak multipliernya hanya 1,3 kali lipat terhadap perekonomian.
Ekonom Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Latif Adam mengatakan peran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) belum optimal dalam mendorong pertumbuhan dan menetralisir dampak perlambatan konsumsi masyarakat dan ekspor.
"Masalah pada belanja pemerintah itu dampak multipliernya sangat kecil. Hanya 1,3 kali lipat, padahal rata-rata negara lain sudah di atas 2 kali lipat. Malaysia sudah 2 kali lipat," katanya saat dihubungi Bisnis, hari ini, Senin, 9 Mei 2012.
Latif mencontohkan, setiap belanja pemerintah sebesar Rp100, hanya dapat menghasilkan Rp130 dalam perekonomian. Menurutnya, untuk dapat meningkatkan multiplier effect dari konsumsi pemerintah, porsi belanja modal, barang, dan infrastruktur harus diperbesar.
Namun, menurutnya, peningkatan dampak ganda dari belanja pemerintah tidak bisa diupayakan secara frontal, apalagi mengingat ruang fiskal APBN yang sempit akibat besarnya belanja subsidi, belanja pegawai, dan transfer daerah.
Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik, pengeluaran konsumsi pemerintah hanya menyumbang rata-rata 9% terhadap total PDB. Pada kuartal I/2011 misalnya, kontribusi belanja pemerintah hanya 6,8%. Namun meningkat menjadi 11,7% pada kuartal IV. Adapun kontribusinya terhadap PDB atas dasar harga berlaku kuartal I/2012 yang mencapai Rp1.972,4 triliun hanya 7,0%.
Selain belanja pemerintah, Latif juga menyoroti dampak ketidakpastian kebijakan BBM terhadap konsumsi masyarakat yang tertekan oleh ekspektasi inflasi yang meningkat.
"Inflasi overhang berpengaruh terhadap daya beli masyarakat. Sekarang memang masih cukup bagus, tapi kalau dibiarkan konsumsi masyarakat cenderung menurun di kuartal selanjutnya," kata Latif saat dihubungi Bisnis.
Ketidakjelasan kebijakan ini, tambah Latif, juga menurunkan kredibilitas pemerintah di mata masyarakat, pelaku pasar, dan investor. Akibatnya, pelaku pasar cenderung wait and see. "Belum lagi motif spekulasi yang memicu penimbunan sejumlah komoditas, seperti BBM, minyak dan gula," tegasnya.
Menteri Keuangan Agus D.W. Martowardojo mengatakan program penghematan belanja kementerian/lembaga dan pengendalian konsumsi BBM bersubsidi dapat mengarahkan belanja pemerintah ke sektor yang lebih produktif. Program penghematan yang dilakukan, kata Agus, harus dilaksanakan konsisten agar defisit dapat terjaga di tingkat 2,23%.
"Kalau BBM, yang bisa disampaikan adalah memang kita tidak ada kenaikan sampai dengan akhir tahun," ujarnya.
Pencairan anggaran dan alokasi belanja di sektor produktif, kata Agus, dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. "Anggaran akan direalisasi. Di kuartal II, II, dan IV pasti akan lebih banyak, terutama belanja modal dan barang," kata Agus.
Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Perbendaharaan mencatat realiasi belanja K/L non-BUN per 30 Maret sebesar 11,08% dari total pagu Rp511,5 triliun. Realisasi tersebut secara persentase lebih tinggi dibandingkan realisasi per 31 Maret 2011 yang sebesar 7,55% dari pagu. Peningkatan signifikan terjadi pada belanja modal, yang membukukan angka realisasi 6,71% dari pagu Rp152,3 triliun, lebih tinggi dari realisasi kuartal I tahun lalu 3,45% dari pagu.(msb)
+ JANGAN LEWATKAN ARTIKEL BERIKUT:
> WAISAK di Jakarta, Ribuan Umat BUDHA Padati VIHARA
> AWAS, Kecanduan VIDEO PORNO bisa bikin rusak OTAK!
> CEO YAHOO pun dituduh bikin CV palsu, mengaku lulusan komputer