JAKARTA: Indonesia dinilai sebagai negara yang paling atraktif untuk investasi di antara negara-negara Asean dan emerging countries, karena memiliki kebijakan moneter dan fiskal yang disiplin, serta kondisi makroekonomi yang stabil.
Paulius Kuncinas, Redaktur Regional Oxford Business Group, menilai Indonesia merupakan negara yang unik, karena memiliki keseimbangan sumber pertumbuhan ekonomi, antara investasi, konsumsi, dan perdagangan ekspor-impor.
"Struktur ekonomi Indonesia berbeda dengan negara BRIC (Brazil, Rusia, India, dan China). Meski eksposure ekspor terhadap PDB-nya relatif rendah, Indonesia masih dapat menikmati pertumbuhan ekonomi yang tinggi karena ekspansi dalam negeri yang mendominasi 60% dari pertumbuhan," ujar Kuncinas dalam acara peluncuran The Report: Indonesia 2012 hari ini.
Menurut Kuncinas, pertumbuhan ekonomi di negara BRIC telah jauh kurang seimbang dan struktur makroekonominya cenderung meningkatkan risiko di mata investor. Kondisi ini berbeda dengan Indonesia yang dianggap lebih menarik, terutama mengingat peningkatan profil kredit, indikator makroekonomi yang solid, dan disiplin fiskal.
"Arus modal ke Indonesia akan meningkat, tapi yang juga penting adalah bagaimana meningkatkan kualitas investasi. Kami melihat minat perusahaan-perusahaan untuk masuk ke sektor riil di luar pertambangan, transportasi, energi, dan komoditas tradisional. Misalnya, pengolahan makanan, farmasi, logistik, jasa keuangan, teknologi informasi, dan agribisnis," papar Kuncinas.
Indonesia juga dinilai sebagai negara strategis bagi investor yang membidik pasar Asia Tenggara, pasalnya Indonesia memiliki pasar domestik terbesar dengan jumlah kelas menengah yang terus berkembang, dan secara geografis memiliki akses ke seluruh wilayah Asean.
Selain itu, OBG juga melihat Indonesia sebagai negara yang cukup resilience terhadap risiko penurunan ekonomi global. lagi-lagi, konsumsi domestik yang sehat, peningkatan rating investasi, rasio utang terhadap PDB yang rendah, dan porsi ketergantungan terhadap ekspor yang relatif kecil membuat fundamental ekonomi Indonesia menarik bagi investor.
"Di Indonesia rasio ekspor to GDP yang sekitar 25% termasuk sangat rendah dibandingkan dengan negara lain di Asean, seperti Malaysia dan Thailand 80%," jelas Kuncinas.
Namun, Kuncinas mengingatkan agar jangan sampai Indonesia menjadi "victim of your own success". Maksudnya, jika terlalu banyak dana masuk dalam bentuk portofolio di pasar keuangan dibandingkan dengan di real sector, akan ada resiko pembalikan modal yang dapat membuat gejolak di sektor keuangan dan depresiasi nilai tukar.
"Karena kalau ada risk apetite, kapital akan mengarah ke emerging market dan lebih spesifik ke Indonesia--yang kami nilai sebagai negara yang paling atraktif di emerging market," ujarnya.
Untuk itu, pemerintah Indonesia disarankan untuk terus memantau dan membuat kebijakan fiskal dan moneter yang lebih adaptif dan responsif terhadap gejolak di pasar keuangan.
Selain infrastruktur, OBG juga memandang sektor anggaran pemerintah, terutama sisi penerimaan negara dari sektor pajak dan nonpajak yang masih sekitar 16% dari produk domestik bruto (PDB) terlalu rendah untuk mendukung investasi di sektor infrastruktur, layanan kesehatan, dan pendidikan.
"Negara investment grade lainnya cenderung memiliki pendapatan fiskal yang mencapai 30% dari PDB mereka," tuturnya.
Kalau ini ditingkatkan, tambah Kuncinas, Indonesia dapat memiliki ruang fiskal yang lebih luas untuk membangun tidak hanya infrastruktur fisik, tetapi juga soft infrastruktur, seperti pengembangan sumber daya manusia dan pendidikan. (sut)