JAKARTA: Jika subsidi energi tidak direformasi, rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) berisiko terus meningkat bahkan berpotensi menembus 50% dalam 10 tahun mendatang.
Thomas Rumbaugh, Mission Chief of Indonesia dari Dana Moneter Internasional (IMF), mengungkapkan sebagai negara yang bergantung pada pendapatan dari sektor minyak dan gas, gejolak harga minyak dunia sangat berpengaruh pada kesehatan fiskal Indonesia.
"Ketergantungan pada pendapatan migas, jika dikombinasikan dengan penundaan dalam reformasi subsidi, bisa membawa masalah," tegasnya dalam peluncuran buku Indonesia: Sustaining Growth During Global Volatility belum lama ini.
Rumbaugh menjelaskan konsumsi bahan bakar minyak akan terus meningkat seiring dengan mobilitas dan pertumbuhan ekonomi, apabila kebijakan subsidi energi tidak direformasi, ongkos fiskal yang dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) juga akan terus semakin besar.
"Memang ini tidak tiba-tiba memicu peningkatan rasio utang, tapi dalam beberapa tahun ke depan kalau tidak direformasi akan sampai pada suatu titik di mana subsidi energi menekan rasio utang bahkan hingga 50% lebih," ujarnya.
Menurut Rumbaugh, tidak secara langsung utang Indonesia akan meningkat untuk menutup pembiayaan subsidi, tetapi gejolak harga minyak akan memengaruhi postur APBN baik dari sisi pendapatan maupun belanja. Maka, rasio utang Indonesia yang berada di level sekitar 25%, berpotensi meningkat hingga dua kali lipat dalam 10 tahun mendatang jika sistem subsidi tidak direformasi.
Dalam laporan IMF tersebut, terungkap bahwa dalam jangka menengah, kerangka fiskal pemerintah yang berfokus pada pengurangan subsidi BBM dan perbaikan administrasi pendapatan, sangat kuat terhadap guncangan makroekonomi dan gejolak harga minyak. Namun, menurut IMF, masalah utama bagi kesehatan fiskal Indonesia ke depannya adalah untuk memastikan bahwa rencana mereformasi subsidi BBM dan meningkatkan pendapatan berjalan secara berkelanjutan.
"Menunda reformasi subsidi BBM dapat meningkatkan kerentanan fiskal dalam konteks konsumsi bahan bakar yang semakin meningkat, harga minyak yang bergejolak, dan shock dari sisi produksi minyak."
Berkaca pada 2011 lalu, subsidi energi membengkak Rp60,3 triliun dari pagu Rp195,3 triliun menjadi Rp255,6 triliun. Subsidi energ ini terdiri dari subsidi BBM Rp165,2 triliun, dan subsidi listrik Rp90,5 triliun. Sementara realisasi harga minyak mengalami deviasi sebesar US$16,54 dari asumsi APBN-P 2011 sebesar US$95 per barel, dan realisasi lifting per Januari-November 2011 hanya mencapai 898 ribu barel/hari.
Sementara itu, Peneliti Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada, Rimawan Pradiptyo mengungkapkan keraguan pemerintah tentang kebijakan subsidi BBM disebabkan oleh kentalnya nuansa politik pencitraan.
"Jika masalahnya adalah pencitraan, idealnya pemerintah bertanya kepada masyarakat mengenai metode penurunan subsidi BBM sekaligus realokasi penghematan anggaran dari penurunan tersebut," ujarnya.
Menurut Rimawan, pada 2011 kajian peneliti konsorsium UGM-UI-ITB pernah menyarankan agar pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi secara gradual sebesar Rp500/liter pada April saat inflasi tercatat rendah dalam beberapa tahun terakhir. Direkomendasikannya opsi ini, juga didukung oleh hasil analisis dan temuan lapangan yang menunjukkan bahwa kebijakan pembatasan maupun pengaturan konsumsi BBM memiliki biaya sosial yang lebih tinggi dibandingkan dengan peningkatan harga BBM bersubsidi secara gradual.
"Namun, rekomendasi ini diabaikan oleh pemerintah, padahal kajian pengendalian subsidi tersebut merupakan amanat UU Nomor 10 Tahun 2010 tentang APBN 2011," tegasnya.
Berdasarkan studi Bank Dunia pada 2011, lanjut Rimawan, 50% masyarakat terkaya menikmati 84% dari total subsidi BBM. Di lain pihak, 10% masyarakat termiskin hanya menikmati 1% total subsidi. Menurut Rimawan, subsidi BBM yang kelewat besar ini menghambat pemerintah dalam penggunaan anggaran untuk program strategis seperti program pengentasan kemiskinan.(sut)