Bisnis.com, JAKARTA — Amerika Serikat di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump berhasil mengamankan kesepakatan dagang besar dengan Uni Eropa, namun kesepakatan serupa dengan China masih diliputi ketidakpastian menjelang tenggat penting pada 12 Agustus 2025.
Kesepakatan dengan Uni Eropa diumumkan Trump pada Minggu (27/7/2025) waktu setempat usai pertemuan dengan Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen di Turnberry, Skotlandia.
Dalam kesepakatan tersebut, AS dan UE sepakat memberlakukan tarif sebesar 15% atas sebagian besar ekspor dari Eropa, termasuk mobil, semikonduktor, dan obat-obatan, demi menghindari potensi perang dagang lintas Atlantik.
“Ini adalah kesepakatan terbesar dari semua,” ujar Trump dalam pengumumannya, seperti dilansir Bloomberg, Senin (28/7/2025).
Trump menyebut kesepakatan itu mencakup komitmen Uni Eropa untuk membeli produk energi AS senilai US$750 miliar, menanamkan investasi tambahan sebesar US$600 miliar di AS, serta melakukan pembelian besar-besaran atas peralatan militer buatan Amerika. Uni Eropa juga membuka akses perdagangan bebas tarif bagi produk-produk tertentu dari AS.
Namun, perbedaan pandangan tetap muncul. Von der Leyen menekankan bahwa tarif 15% bersifat menyeluruh dan tidak dibarengi dengan tarif sektoral, termasuk untuk farmasi yang sebelumnya menjadi isu alot. Ia juga menyebut tarif logam akan dikurangi dan sistem kuota akan diterapkan.
Baca Juga
“Tarif keseluruhan ini tidak bisa diremehkan, tetapi merupakan hasil terbaik yang bisa kami capai,” katanya.
Pengumuman tersebut menutup bulan-bulan diplomasi bolak-balik antara Brussel dan Washington yang penuh ketegangan. Kedua pihak hampir mencapai kesepakatan awal bulan ini ketika Trump mengancam tarif 30%.
Uni Eropa sendiri telah menyiapkan langkah balasan berupa tarif terhadap produk AS senilai sekitar €100 miliar (US$117 miliar), atau sepertiga dari total ekspor AS ke Eropa, jika kesepakatan tidak tercapai dan ancaman Trump diwujudkan.
Para pejabat juga membahas penerapan sistem kuota untuk impor baja dan aluminium, dengan tarif lebih rendah di bawah ambang tertentu, dan tarif 50% untuk volume yang melebihi batas itu. Uni Eropa juga mendorong adanya kuota serta pembatasan tarif sektoral di masa depan.
Selama beberapa pekan terakhir, Uni Eropa menunjukkan kesediaan untuk menerima kesepakatan yang timpang dengan tarif dikurangi menjadi sekitar 15%, sambil meminta pembebasan untuk sektor-sektor penting bagi perekonomian Eropa. Sementara itu, AS telah lebih dulu mengenakan tarif 25% untuk mobil, dan tarif dua kali lipat untuk baja, aluminium, serta tembaga.
Masih Tanda Tanya
Di sisi lain, hilal nasib kesepakatan perdagangan AS dan China masih menjadi tanda tanya. Pada Senin (28/7), perundingan antara kedua negara akan digelar di Stockholm, Swedia, dipimpin oleh Menteri Keuangan AS Scott Bessent dan Wakil Perdana Menteri China He Lifeng. Pertemuan ini bertujuan membahas perpanjangan gencatan tarif sebelum tenggat 12 Agustus.
Kesepakatan awal antara AS dan China pada Juni lalu hanya menghentikan sementara saling balas tarif, tanpa menyentuh isu-isu struktural. Jika tidak ada kesepakatan lanjutan, tarif impor bisa melonjak di atas 100%, memicu guncangan baru dalam rantai pasok global.
Pemerintahan Trump tengah bersiap memberlakukan tarif sektoral baru terhadap China, meliputi produk semikonduktor, farmasi, derek pelabuhan, dan lainnya.
Namun, analis menilai perundingan dengan China jauh lebih kompleks dibandingkan dengan Eropa, terutama karena posisi dominan China dalam rantai pasok global seperti mineral tanah jarang dan magnet industri.
“Kami sangat dekat dengan kesepakatan dengan China. Sebenarnya, kami sudah hampir mencapai kesepakatan, tapi kita lihat saja nanti,” kata Trump, tanpa memberikan rincian.
Perpanjangan gencatan senjata tarif selama 90 hari menjadi opsi yang paling realistis saat ini, menurut para analis. Penundaan ini membuka peluang pertemuan antara Trump dan Presiden China Xi Jinping pada akhir Oktober atau awal November mendatang.
China sendiri menginginkan penghapusan total tarif AS yang saat ini mencapai 55% atas sebagian besar barang, serta pelonggaran kontrol ekspor teknologi tinggi. Beijing juga menyoroti pentingnya rebalancing ekonomi menuju permintaan domestik, sembari menyelesaikan krisis properti dan memperkuat jaminan sosial.
Beijing menilai pembelian produk AS akan membantu menurunkan defisit dagang AS dengan China, yang mencapai US$295,5 miliar pada 2024.
Saat ini, China dikenai tarif 20% terkait krisis fentanyl di AS, 10% tarif balasan, dan bea masuk 25% untuk sebagian besar produk industri yang diberlakukan sejak masa jabatan pertama Trump.
Bessent juga menyampaikan bahwa dirinya akan mendiskusikan perlunya China melakukan rebalancing ekonomi dari orientasi ekspor menuju permintaan domestik. Pergeseran ini akan mengharuskan Beijing mengatasi krisis properti yang berkepanjangan serta memperkuat jaminan sosial guna mendorong belanja rumah tangga.
Michael Froman, mantan perwakilan dagang AS di era Barack Obama, mengatakan bahwa dorongan perubahan ini sudah menjadi agenda pembuat kebijakan AS selama dua dekade.
“Apakah tarif bisa benar-benar digunakan untuk mengubah strategi ekonomi China secara fundamental? Itu masih menjadi tanda tanya,” ujar Froman, yang kini menjabat sebagai Presiden lembaga think tank Council on Foreign Relations.