Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Indef Wanti-wanti Daya Beli Masyarakat Turun Akibat Tarif 19% Trump

Tarif bea masuk produk AS 0% bisa menurunkan daya beli masyarakat hingga 0,091% karena konsumsi riil tertekan. Ada dampak negatif ke tenaga kerja hingga ekspor.
Warga memadati pusat perbelanjaan Blok B Pasar Tanah Abang, Jakarta, Minggu (24/4/2022). / Bisnis-Eusebio Chrysnamurti
Warga memadati pusat perbelanjaan Blok B Pasar Tanah Abang, Jakarta, Minggu (24/4/2022). / Bisnis-Eusebio Chrysnamurti
Ringkasan Berita
  • Indef memproyeksikan penurunan daya beli masyarakat Indonesia akibat tarif impor baru sebesar 19% dari AS, meskipun lebih rendah dari ancaman sebelumnya sebesar 32%.
  • Kesepakatan perdagangan RI-AS terbaru berdampak negatif pada indikator makroekonomi Indonesia, termasuk penurunan penyerapan tenaga kerja, investasi, kapasitas fiskal, nilai ekspor dan impor, serta pertumbuhan ekonomi.
  • Indef merekomendasikan kebijakan fiskal jangka pendek dan reformasi struktural jangka panjang untuk mengatasi dampak negatif, seperti insentif fiskal, bantuan sosial, diversifikasi pasar ekspor, dan penguatan ketahanan fiskal.

* Ringkasan ini dibantu dengan menggunakan AI

Bisnis.com, JAKARTA — Institute for Development of Economics and Finance alias Indef memproyeksikan penurunan daya beli masyarakat akibat Amerika Serikat mengenakan tarif impor 19% ke produk asal Indonesia.

Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Indef M. Rizal Taufikurahman tidak menampik bahwa tarif 19% baru itu lebih rendah dari ancaman sebelumnya yang sebesar 32%. Kendati demikian, dia mengingatkan bahwa Indonesia justru membebaskan tarif impor (0%) ke hampir semua barang asal AS.

Oleh sebab itu, Rizal meyakini kesepakatan perdagangan RI-AS terbaru itu tetap dampaknya secara negatif ke perekonomian Indonesia. Misalnya berdasarkan perhitungan dengan pendekatan model Global Trade Analysis Project (GTAP), didapati daya beli rumah tangga menjadi turun sebesar 0,091%.

"Penurunan ini mencerminkan apa? Melemahnya pendapatan dan naiknya harga konsumsi, yang menekan konsumsi riil," jelas Rizal dalam diskusi publik Indef secara daring, Senin (21/7/2025).

Dia melihat kebijakan tarif saat ini secara langsung merugikan kesejahteraan rumah tangga Indonesia sehingga perlu direspons dengan kebijakan kompensasi yang tetap sasaran.

Selain daya beli masyarakat, Rizal menghitung indikator makroekonomi lainnya juga berdampak negatif akibat kesepakatan dagang terbaru itu seperti penurunan penyerapan tenaga kerja (-0,064%), investasi (-0,061%), kapasitas fiskal (-0,122%), nilai ekspor (-0,197%), nilai impor (-0,251%), dan pertumbuhan ekonomi (-0,11%).

"Indonesia sangat rentan terhadap kebijakan unilateral mitra dagangnya dan memerlukan strategi kompensasi jangka pendek dan reformasi struktural jangka panjang," ujar Rizal.

Oleh sebab itu, dia mendorong pemerintah menyiapkan lima kebijakan fiskal jangka pendek. Pertama, insentif fiskal sektor yang berorientasi ekspor seperti tax allowance (pengurangan pajak) untuk industri padat karya dan manufaktur yang terdampak.

Kedua, pemberian bantuan sosial terarah untuk menjaga daya beli masyarakat seperti perluasan bantuan tunai bersyarat untuk rumah tangga berpendapatan rendah di kawasan industri ekspor. Ketiga, kompensasi fiskal daerah industri ekspor seperti alokasi dana insentif fiskal untuk daerah sentra ekspor (Batam, Karawang, Pasuruan) agar tetap beroperasi.

Keempat, penguatan kurs dan stabilitas harga impor strategis seperti subsidi terbatas bagi bahan pangan impor. Kelima, reprofiling atau penyesuaian kembali investasi infrastruktur untuk pekerjaan padat karya dengan mengalihkan proyek infrastruktur strategis ke proyek padat karya lokal untuk menyerap tenaga kerja secara langsung

Sementara untuk kebijakan jangka panjang, Rizal juga menyarankan lima langkah. Pertama, diversifikasi pasar ekspor dengan percepatan perjanjian perdagangan baru dengan India, Timur Tengah, dan Afrika, BRICS, dan lainnya.

Kedua, pengiliran atau hilirisasi dan peningkatan nilai tambah ekspor dengan fasilitasi industri manufaktur berbasis teknologi menengah dan tinggi serta industri pengolahan CPO, nikel, dan tekstil.

Ketiga, reformasi insentif investasi dengan revisi regulasi OSS-RBA agar lebih pro-pelaku usaha global, penguatan KEK dan kawasan industri berbasis ekspor.

Keempat, transformasi struktur tenaga kerja dengan upskilling dan reskilling pekerja sektor terdampak melalui pelatihan vokasi digital dan manufaktur berkelanjutan

Kelima, penguatan ketahanan fiskal dengan reformasi penerimaan non-pajak dan diversifikasi pembiayaan fiskal jangka panjang seperti Green Bond, Islamic Sukuk, dan sejenisnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro