Bisnis.com, JAKARTA — Amerika Serikat mengenakan tarif impor 19% terhadap produk asal Indonesia. Saat ini tarif tersebut menjadi yang terkecil di antara negara pemberi defisit perdagangan bagi AS, tetapi tarif itu belum tentu menjadi peluang emas bagi ekspor RI.
Peneliti Pusat Industri Perdagangan dan Investasi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus mengingatkan bahwa tarif lebih rendah tidak otomatis menjadikan harga produk Indonesia lebih bersaing dibanding Vietnam, Malaysia, atau Bangladesh di pasar Amerika Serikat (AS).
"Jadi mentang-mentang kita 19%, negara lain lebih tinggi, kita tenang aja. Belum tentu juga. Lihat lagi, biaya untuk menciptakan produk itu gimana di Indonesia dibandingkan dengan di negara-negara lain," ujar Heri dalam diskusi publik Indef secara daring, Senin (21/7/2025).
Dia mencontohkan, misalnya, untuk memproduksi sepatu yang sama, industri di Indonesia bisa menghabiskan biaya hingga US$8, sementara di Vietnam hanya US$5. Artinya, meskipun tarif Vietnam lebih tinggi 1% dari Indonesia (20%), harga akhirnya bisa tetap lebih murah dibanding produk Indonesia.
Heri menekankan tingginya Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia sebagai akar persoalan. Rasio ini menggambarkan efisiensi pemanfaatan modal dalam proses produksi.
“ICOR kita sampai hari ini kan masih lebih tinggi daripada negara-negara pesaing kita itu yang jualan barang ke Amerika Serikat. Artinya apa? Untuk memproduksi satu unit barang diperlukan lebih banyak modal,” jelasnya.
Baca Juga
Sebaliknya, negara pesaing seperti Vietnam justru terus menurunkan ICOR mereka melalui efisiensi energi, logistik, dan tenaga kerja. Langkah tersebut, sambungnya, membuat harga produk mereka tetap kompetitif meski dibebani tarif lebih besar.
Dia menekankan perlunya pembenahan struktural untuk menekan ongkos produksi dan memperkuat rantai pasok. Jika tidak maka industri dalam negeri akan terus rentan terhadap guncangan eksternal, termasuk kebijakan tarif dagang dari negara mitra.
“Jadi tarifnya kecil belum tentu aman, belum tentu lebih unggul dari negara lain. Kita harus melihat lagi kondisi eksistingnya, apakah kita sudah lebih efisien dari mereka dalam membuat suatu barang,” katanya.
Lebih lanjut, dia mengungkapkan simulasi yang dilakukan Indef berdasarkan pendekatan model Global Trade Analysis Project (GTAP) menunjukkan bahwa tarif baru 19% berpotensi menekan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 0,031%.
Sektor tekstil, pakaian jadi, dan alas kaki diprediksi menjadi yang paling terdampak, yang ekspornya bisa turun hingga 4,88%. Investasi di sektor ini pun diperkirakan menyusut 2,06%.
Dia juga mencatat bahwa sektor padat karya bisa kehilangan tenaga kerja baik di level pekerja kasar (-2,04%) maupun profesional (-2,05%).