Dia juga berpendapat, ada beberapa alternatif pembiayaan untuk mendorong bauran EBT. Hal itu seperti mengalihkan subsidi fosil.
Namun, pilihan ini berat untuk diambil sebab akan memukul daya beli masyarakat khususnya menengah bawah. Alternatif lain adalah meningkatkan pendapatan dari sektor fosil.
Ishak menyebut, margin pendapatan produsen batu bara masih sangat besar dengan biaya produksi sekitar US$30 hingga US$40 per ton dan harga jual yang saat ini di atas US$100 per ton.
"Pemerintah juga perlu mendorong agar BUMN menjadi pemain utama dalam pengelolaan energi primer termasuk batu bara sehingga penerimaan negara dapat menjadi lebih besar dari sektor tersebut, sehingga terdapat ruang fiskal yang lebih besar untuk membiayai EBT," katanya.
Senada Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP) Bisman Bhaktiar menilai target bauran EBT 100% pada 2035 tak realistis.
"Bauran EBT 100% di 2035 sangat tidak realistis dan tidak mungkin tercapai, namun sebagai good will dan semangat boleh kita apresiasi," ucapnya.
Baca Juga
Menurut Bisman, pemerintah perlu memberikan dasar hukum, kepastian hukum, dan kebijakan yang memadai terutama penyelesaian RUU EBET yang sampai saat ini belum selesai.
Selain itu, pemerintah juga perlu menata skema insentif dan pembiayaan termasuk tarif yang lebih kompetitif. Lalu, dukungan dan kemudahan perizinan, infrastruktur dan permasalahan lahan serta pelibatan aktif pemerintah daerah.
Adapun untuk pembiayaan transisi energi, Bisman menilai hal itu bisa dilakukan lewat APBN hingga Danantara.
"Pembiayaan bisa melalui APBN, Danantara, penugasan BUMN serta investasi swasta dan asing. Untuk itu peran aktif pemerintah dibutuhkan untuk mengundang agar investor tertarik masuk,” ucap Bisman.