Bisnis.com, JAKARTA — Kebijakan fiskal Amerika Serikat berpotensi memicu tekanan terhadap pasar keuangan Indonesia, termasuk nilai tukar rupiah. Pasalnya, ekspansi belanja dan stimulus pajak yang diusung Presiden AS Donald Trump diproyeksi mendorong suku bunga tinggi dalam jangka waktu lebih lama.
Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk. (BNLI) Josua Pardede menilai bahwa Undang-Undang Pajak dan Belanja—Trump menyebutnya sebagai Big Beautiful Bill—yang diloloskan Senat AS pada akhir pekan lalu akan menciptakan stimulus fiskal yang besar.
Kebijakan tersebut mencakup pemangkasan pajak permanen untuk kelas menengah, pemotongan pajak bisnis, serta peningkatan belanja pemerintah secara agresif di sektor pertahanan, infrastruktur, dan program sosial.
"Stimulus ini diperkirakan akan mendorong pertumbuhan ekonomi AS secara signifikan dalam jangka pendek, tetapi dalam jangka menengah hingga panjang beresiko memicu pelebaran defisit fiskal yang cukup besar," ujar Josua kepada Bisnis, dikutip pada Senin (7/7/2025).
Akibatnya, lonjakan defisit fiskal ini berpotensi meningkatkan inflasi di AS karena kenaikan permintaan agregat yang tidak diiringi dengan peningkatan produktivitas yang sepadan.
Menurut Josua, salah satu implikasi utama dari kondisi tersebut adalah kebijakan suku bunga The Federal Reserve (The Fed) yang kemungkinan akan tetap tinggi dalam waktu yang lebih lama.
Baca Juga
"The Fed akan menghadapi tekanan untuk mempertahankan kebijakan moneter yang ketat guna mengendalikan inflasi, seiring pelebaran defisit anggaran," jelasnya.
Kondisi ini, lanjut Josua, berisiko menciptakan dampak signifikan terhadap aliran modal internasional, termasuk di Indonesia. Dalam jangka pendek hingga menengah, potensi arus modal keluar dari pasar keuangan Indonesia bisa meningkat, karena imbal hasil di AS menjadi lebih menarik dibandingkan negara berkembang.
"Kondisi ini meningkatkan risiko pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, sehingga dapat menciptakan tekanan terhadap stabilitas pasar finansial domestik, meningkatkan volatilitas di pasar saham dan obligasi, serta meningkatkan risiko likuiditas dan biaya utang luar negeri," paparnya.
Untuk mengantisipasi tekanan eksternal tersebut, Josua menekankan perlunya respons kebijakan yang terkoordinasi antara otoritas fiskal dan moneter.
Dari sisi fiskal, pemerintah perlu menjaga konsolidasi fiskal secara kredibel dengan memastikan defisit APBN tetap terkendali dan mengoptimalkan produktivitas belanja negara, terutama di sektor-sektor yang memberikan efek berganda tinggi terhadap ekonomi nasional.
“Memperkuat basis penerimaan pajak juga menjadi hal krusial di tengah situasi eksternal yang menekan,” tambahnya.
Sementara dari sisi moneter, Bank Indonesia (BI) diharapkan dapat menjaga stabilitas nilai tukar rupiah melalui strategi yang terukur, seperti intervensi di pasar valas, penguatan instrumen pasar uang, serta optimalisasi cadangan devisa.
Meski ruang pelonggaran suku bunga masih ada seiring inflasi domestik yang relatif rendah, namun tekanan eksternal akibat kebijakan fiskal AS bisa membatasi ruang tersebut.
"Bank Indonesia kemungkinan akan lebih berhati-hati dan menahan suku bunga tinggi lebih lama demi menjaga stabilitas rupiah dan mencegah risiko aliran modal keluar," tutup Josua.