Menurut Ishak, proyek itu juga menjadi penting lantaran mencakup kerja sama strategis dengan investor global. Karena itu, Indonesia dapat menjadi pemain utama dalam rantai pasok baterai global.
Oleh karena itu, Ishak mengingatkan pemerintah untuk terus memberikan kepastian investasi melalui negosiasi yang transparan dan kuat. Dengan begitu, proyek pabrik baterai itu bisa berjalan kian mulus.
Di samping itu, pemerintah juga perlu membuat strategi agar investasi ini tetap berkelanjutan. Sebab, penggunaan baterai LFP alias lithium ferro phosphate terus meningkat dibandingkan baterai berbasis nikel pada EV.
Tak hanya itu, pemerintah perlu mendorong munculnya produsen lokal yang memiliki kemampuan untuk memproduksi EV. Dengan begitu, negara ini tidak hanya bergantung pada produsen EV asing.
"Kita perlu belajar dari China yg sukses mengembangkan EV yg merupakan buah dari kebijakan joint venture pabrikan asing dengan domestik," imbuh Ishak.
Lebih lanjut, Ishak pun menyoroti isu lingkungan. Dia pun mengingatkan pengelolaan limbah HPAL dari tambang dan smelter nikel harus memenuhi standar ESG alias environmental, social, and governance yang transparan dan sesuai dengan benchmark global.
Baca Juga
"Proyek ini menjadi momentum untuk menegakkan prinsip-prinsip pengelolaan tambang dan turunannya secara berkelanjutan," ucapnya.
Ishak menambahkan bahwa peningkatan investasi infrastruktur EV perlu diperkuat untuk mendorong pasar mobil listrik domestik. Di satu sisi, implementasi tingkat komponen dalam negeri (TKDN) bagi produsen EV perlu dikawal agar tidak lagi molor.
"Selain itu insentif EV dan infrastruktur SPKLU/SPBKLU masih krusial agar keberhasilan proyek dan hilirisasi nikel berkelanjutan," kata Ishak.
Sementara itu, Direktur Pelaksana Energy Shift Institute Putra Adhiguna mengatakan, perkembangan proyek baterai EV di Karawang perlu disikapi positif. Sebab, pabrik itu bisa memberi nilai lebih pada hilirisasi nikel.
Dia juga berharap industri baterai itu bisa mendorong perbaikan standar lingkungan dan sosial.
"Kelebihan kapasitas produksi baterai dunia sudah sangat besar sehingga keuntungan juga cukup tergerus, namun mengembangkan pabrikan di luar Tiongkok tetap penting," kata Putra.
Dia pun memberikan catatan agar pabrik baru itu kelak harus mampu memenuhi standar yang lebih tinggi seperti Uni Eropa. Sebab, 70% kendaraan listrik baru China tidak menggunakan baterai berbasis nikel.