Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Haryo Kuncoro

Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta

Haryo Kuncoro adalah Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta

Lihat artikel saya lainnya

OPINI : Di Balik Penerbitan Obligasi Bank

Ketidakpastian global dan perlambatan ekonomi domestik, membuat pebisnis menunda pencairan kredit perbankan untuk ekspansi.
Ilustrasi bank/shutterstock
Ilustrasi bank/shutterstock

Bisnis.com, JAKARTA - Di tengah ke­­­­ti­­­­­­­dakpastian glo­­­bal dan gejala per­­lam­­­batan ekonomi domestik, in­­­dus­­­tri perbankan nasional mulai pasang kuda-kuda. Se­­­jumlah bank besar bahkan bersiap merilis obligasi. Di satu sisi, langkah itu muncul aki­­­bat ketatnya likuiditas yang terus membayangi sek­­­tor perbankan belakangan ini.

Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, perimbangan antara pinjaman terhadap simpanan (loan to deposit ratio/LDR) per Maret 2025 mencapai 87,95%, meningkat dari posisi akhir tahun lalu. Kendati masih dalam batas sehat, peningkatan LDR mencerminkan ketersediaan likuiditas yang kian tipis.

Sempitnya ruang gerak likuiditas juga dikonfirmasi bank sentral. Bank Indonesia mencatat pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) berada dalam jalur perlambatan. Per April 2025, misalnya DPK hanya tumbuh 4,4%, menyusut dari 4,7% pada Maret dan 5,3% pada Januari secara tahunan (year-on-year/YoY).

Setali tiga uang, laju pertumbuhan kredit pun melorot. Hingga Mei 2025, kredit perbankan hanya mekar 8,43% YoY. Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan April 2025 yang tumbuh 8,88% YoY. Perlambatan DPK yang lebih besar seakan mempertegas kembali kelangkaan likuiditas.

Di sisi lain, penerbitan obligasi diklaim sebagai strategi diversifikasi pendanaan. Pendanaan perbankan masih mengandalkan DPK, semacam CASA (current account & saving account). Sumber dana CASA tipikal berbiaya murah. Saat DPK tumbuh mini, substitusi ke sumber lain menjadi keniscayaan.

Argumen ekspansi kredit jangka panjang berwawasan lingkungan juga masuk akal, meski secara konseptual masih bisa diperdebatkan. Mengikuti proposisi teori Pecking Order dari Donaldson (1961) dan Myers (1984), prioritas pendanaan perusahaan dimulai dengan pembiayaan internal lewat laba ditahan.

Mengikuti kaidah di atas, utang adalah pilihan terbaik kedua di saat opsi laba ditahan masih terbatas. Berangkat dari situ, perbankan hendak bermain ‘cantik’ dengan mengakomodasi tuntutan laba yang dibagikan kepada pemegang saham dengan komitmen pembiayaan berkelanjutan lewat penerbitan obligasi.

Pandangan lain menggabungkan keduanya. Penerbitan obligasi bukan semata-mata pertanda likuiditas yang ketat, melainkan respons terhadap kondisi suku bunga tinggi. Suku bunga yang tinggi adalah indikator utama ketatnya pendanaan, sedemikian rupa sehingga perbankan harus mencari sumber alternatif.

Apapun landasan berpikirnya, penerbitan obligasi adalah aksi korporasi yang lazim di dalam dunia usaha. Namun, di balik penerbitan obligasi oleh bank-bank besar, tebersit pula sejumlah kekhawatiran yang perlu diantisipasi.

Persoalan pertama menyangkut daya serap pasar. Obligasi perbankan niscaya akan bersaing dengan SBN (surat berharga negara) dengan imbal hasil atraktif, serta pembayaran kembali pokok utang plus bunga yang dijamin pemerintah.

Kalaupun mampu bersaing, persoalan tak berhenti sampai di situ. Obligasi yang diterbitkan satu bank yang kemudian dibeli oleh bank lain tidak diperhitungkan dalam RIM (rasio intermediasi makroprudensial). RIM adalah pengembangan dari LDR yang memasukkan surat berharga yang diterbitkan.

Alhasil, penerbitan obligasi tidak menyelesaikan isu kelangkaan likuiditas. Dana hanya berpindah dari satu bank (yang berlebih likuiditas) ke bank lain (yang mengalami kekurangan likuiditas). Mekanisme semacam itu nyaris sama dengan transaksi pinjam-meminjam dana di PUAB (pasar uang antarbank).

Kemiripan cerita berlaku untuk pemanfaatan hasil penerbitan obligasi. Dana hasil obligasi bisa jadi digunakan untuk refinancing utang jatuh tempo, Jika demikian, struktur pendanaan perbankan niscaya tidak banyak berubah. Bank besar tadi toh memiliki pendanaan non-konvensional 10% dari total DPK.

Alhasil, akumulasi dari kegagalan me-reprofiling dan restrukturisasi sumber pendanaan perbankan akan berimbas dari efektivitas penerbitan obligasi itu sendiri. Sasaran penerbitan obligasi bank besar, yakni untuk ekspansi kredit hijau berjangka panjang, berpotensi tidak kesampaian.

Dengan konfigurasi problematika di atas, penerbitan obligasi oleh bank-bank besar tidak semestinya dipandang secara parsial hanya sebagai strategi portofolio temporer perbankan semata. Inti masalahnya persis seperti lingkaran setan tak berujung pangkal.

Target pertumbuhan ekonomi 8% yang diusung pemerintahan Prabowo Subianto menuntut peran industri perbankan dalam memobilisasi dana guna membiayai berbagai program prioritas, termasuk ekonomi ramah lingkungan. Ironisnya, sektor perbankan masih saja mengalami kesulitan likuiditas.

Sementara itu, di tengah ketidakpastian global dan perlambatan ekonomi domestik, pebisnis menunda pencairan kredit perbankan untuk ekspansi. Secara simetris, perbankan gamang menyalurkan kredit karena tingginya risiko kredit macet.

Pada titik ini, perbankan diharapkan bisa segera menyelesaikan sendiri urusannya. Ketuntasan konsolidasi internal akan meringankan manuver dalam menyalurkan kembali kreditnya. Insentif KLM (kebijakan likuiditas makroprudensial) toh telah diluncurkan per 1 April 2025.

Bagaimana pun, kinerja bank besar adalah representasi industri perbankan dalam negeri. Bank besar juga menjadi market leader bagi bank menengah dan kecil. Artinya, penerbitan obligasi bank-bank besar harus menjadi momentum untuk memperkuat postur perbankan hijau di Indonesia. Bukan begitu?


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Haryo Kuncoro
Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper