Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Sumber Ekonomi Israel yang Menyulut Perang Baru dengan Iran, GDP 11 Kali Indonesia

OECD menyampaikan bahwa kini Israel sudah dikenal sebagai pemain utama dalam inovasi kecerdasan buatan (AI) dunia.
Tentara Israel beroperasi selama operasi darat di Jalur Gaza Selatan. REUTERS/Amir Cohen
Tentara Israel beroperasi selama operasi darat di Jalur Gaza Selatan. REUTERS/Amir Cohen

Bisnis.com, JAKARTA — Rezim pendudukan Israel terus-menerus memantik perang dengan negara di sekitarnya. Tak puas menyerang wilayah Palestina, terbaru Israel meluncurkan rudal ke wilayah Iran.

Perang yang berkelanjutan itu memberi efek ganda ke perekonomian Israel yakni di satu sisi, utang pemerintah Israel semakin tebal saat yang sama industri pertahanan Israel tumbuh pesat. Aksi yang menciptakan inovasi yang kemudian berdampak positif ke sumber pendapatan baru dari sektor industri teknologi.

Sebagai gambaran, Bank Dunia mencatat pendapatan nasional bruto Israel mencapai US$54.650 per kapita pada 2023. Jumlah itu 11 kali lipat lebih tinggi dari pendapatan nasional bruto Indonesia yang baru mencapai US$4.810 per kapita pada 2023.

Dalam laporan bertajuk OECD Economic Surveys: Israel edisi April 2025, Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) menggarisbawahi bahwa perekonomian Israel sangat dipengaruhi oleh konflik.

Misalnya, pecah perang di Gaza yang disebut membutu Hamas pada 7 Oktober 2023, investasi dan ekspor Israel anjlok. Sementara itu, belanja pemerintah terkait perang melonjak tajam.

Belajan militer itu saat yang sama mendorong pertumbuhan ekonomi. Selain mendorong konsumsi dan investasi, aksi ini juga memantik perkembangan teknologi tinggi.

Lembaga itu mencontohkan penelitian dan pengembangan mendukung militer menciptakan inovasi yang bermanfaat untuk masyarakat luas. Contohnya, internet, GPS, dan banyak sistem komputer berteknologi tinggi awalnya berasal dari penelitian militer yang kemudian menjadi komponen vital dalam perekonomian masyarakat.

"Penelitian empiris menunjukkan belanja militer berkontribusi ke pertumbuhan jangka panjang yang lebih tinggi di antara negara-negara OECD," tulis laporan tersebut, dikutip Senin, (16/6/2025).

Meski demikian belanja militer mempunyai dampak negatif ke perekonomian, terutama dalam jangka panjang. Salah satu kekhawatiran utama adalah belanja di sektor penting lain seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur menjadi terabaikan.

Alasannya, sebagian besar belanja pertahanan dihabiskan untuk mengimpor peralatan dan kebutuhan para tentara, sehingga tidak memberi efek berganda ke perekonomian secara luas.

Selain itu, belanja militer dapat mendistorsi alokasi sumber daya manusia sehingga mengurangi produktivitas agregat. OECD memaparkan bahwa ketika sebagian besar tenaga kerja terampil dipekerjakan di industri militer atau pertahanan, maka para pekerja ini tidak tersedia untuk proyek-proyek lain.

"Di Israel, hal ini dapat menjadi penyebab kekhawatiran terutama di sektor teknologi tinggi mengingat kurangnya tenaga kerja yang terampil," ungkap OECD.

Tak hanya itu, utang pemerintah juga terus membengkak karena perlunya pembiayaan militer yang besar. Defisit anggaran semakin melebar, terutama pada tahun-tahun perang.

Misalnya, OECD mencatat defisit anggaran Israel mencapai 8,2% dari PDB pada 2024. Bahkan, total utang pemerintah mencapai 66,2% dari PDB pada 2024.

Dari Militer ke Teknologi

OECD mencatat belanja militer jumbo tercatat sejak Perang Enam Hari 1967 dan Yom Kippur 1973 sangat memengaruhi ekonomi Israel selama beberapa dekade. Pengeluaran terkait pertahanan melonjak usai kedua konflik itu pecah, dari awalnya hanya 10% PDB 1967 menjadi 30% PDB 1973 sampai 1976.

Konsekuensi ekonomi terbesar dari belanja militer Israel yang tinggi adalah inflasi. Belanja pemerintah naik ke tingkat rata-rata 75% PDB selama 1974 sampai 1985. Meski terjadi peningkatan pendapatan, sebagian besar lonjakan belanja pemerintah didanai melalui defisit anggaran, yang rata-rata mencapai 15% dari PDB selama 1973 sampai 1985.

Intervensi bank sentral Israel yang berlebihan memicu inflasi, yang dimulai setelah Perang Yom Kippur hingga akhirnya mencapai puncak dengan harga naik ke level 400% pada 1985.

Setelah Perang Yom Kippur, sebagian besar belanja militer Israel dialokasikan untuk impor, terutama sistem persenjataan dari pasar internasional. Hanya sepertiga dari total peningkatan belanja militer yang berkontribusi langsung pada aktivitas ekonomi domestik.

"Impor peralatan militer dalam jumlah besar, meskipun sebagian didanai oleh bantuan asing terutama dari Amerika Serikat, menyiratkan defisit transaksi berjalan yang besar," ujar OECD.

Seiring berjalannya waktu, industri pertahanan, khususnya produksi senjata, mengalami pertumbuhan pesat. Antara 1965 sampai 1977, sektor pertahanan tumbuh hingga 15% per tahun, jauh melampaui tingkat pertumbuhan total industri sebesar 7,9%.

Pertumbuhan industri pertahanan itu mengubah Israel dari negara pengimpor barang-barang militer menjadi eksportir global. Ekspor senjata meningkat tajam pada 1970-an dan 1980-an, yang mencakup hampir seperempat ekspor industri pada 1985.

Bahkan, pada pertengahan 1980-an, sektor pertahanan mencakup 50% dari semua investasi industri. Satu dari empat pekerja industri dipekerjakan dalam produksi yang terkait dengan militer.

Halaman
  1. 1
  2. 2

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper