Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan bahwa Indonesia membutuhkan anggaran infrastruktur US$625,37 miliar atau setara dengan Rp10.302,97 triliun (asumsi kurs Rp16.475 per dolar AS) untuk 2025—2029.
Sri Mulyani menyampaikan bahwa pemerintah menhadapi kebutuhan anggaran untuk memperluas konektivitas dan memastikan akses yang adil terhadap layanan infrastruktur dasar.
Bendahara Negara tersebut tidak menampik bahwa pembiayaan untuk infrastruktur ini menjadi kendala serius karena pemerintah hanya mampu memberikan 40% dari kas negara atau sekitar Rp4.121,22 triliun.
“Jadi, kita pasti menghadapi kesenjangan pendanaan ini. Hal ini akan memerlukan partisipasi sektor swasta, dukungan dari banyak mitra, dan juga penciptaan mekanisme pendanaan inovatif,” ujarnya dalam International Conference on Infrastructure (ICI) di JCC, Kamis (12/6/2025).
Dalam paparannya, Sri Mulyani menyebutkan bahwa prioritas domestik ini bersinggungan dengan tekanan global yang semakin meningkat yang saat ini sedang terjadi.
Di mana dunia saat ini dipenuhi dengan ketegangan geopolitik yang persisten, yang mengakibatkan fragmentasi dan peningkatan ketidakstabilan di antara negara-negara dan wilayah.
Baca Juga
Alhasil semua negara di dunia menghadapi tuntutan yang semakin meningkat akan infrastruktur berkualitas sambil tetap harus mengatasi keterbatasan fiskal mereka, tak terkecuali Indonesia.
Mengacu Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025—2029 yang dirinya paparkan, gap financing atau kesenjangan pendanaan untuk membiayai infrastruktur Indonesia diharapkan 60% sisanya berasal dari BUMN/BUMD dan sektor swasta.
Masing-masing diharapkan dapat berkontribusi 30% atau sekitar US$187,61 miliar atau setara Rp3.090,87 triliun dalam lima tahun ke depan.
Di samping adanya kesenjangan pendanaan, Sri Mulyani menyoroti adanya kesenjangan permintaan infrastruktur yang signifikan, terutama di daerah regional dan yang kurang terlayani.
Terlebih, masih minimnya partisipasi sektor swasta dalam pengembangan infrastruktur serta banyak proyek menunjukkan viabilitas yang marginal yang memerlukan dukungan untuk menarik investasi swasta.
Selain itu, menjadi tantangan pemerintah untuk memenuhi permintaan akan pembangunan yang berkelanjutan.