Bisnis.com, JAKARTA - Ekonomi China terus menunjukkan pendinginan meski ditolong dengan libur panjang yang mendorong konsumsi selama periode Mei 2025.
Dikutip dari Bloomberg, ekonomi China kembali mengalami deflasi selama 4 bulan beruntun di tengah perang harga. Saat yang sama, dua hari libur nasional pada Mei 2025 gagal mengerek permintaan domestik yang juga melemah. Indeks harga konsumen turun 0,1% pada Mei secara tahunan.
Dalam pernyataannya, Biro Statistik Nasional pada Senin (9/6/2025), deflasi terjadi dalam penurunan yang sama dengan bulan sebelumnya. Meski demikian, kondisi ini lebih baik dari perkiraan median ekonom yang disurvei oleh Bloomberg adalah level -0,2%.
Sementara itu, deflasi harga produsen (PPI) memasuki bulan ke-32, dengan penurunan sebesar 3,3%. Tekanan ini menjadi yang terburuk dalam hampir dua tahun terakhir.
Bloomberg memperkirakan ancaman deflasi yang mengakar di China akan bertahan selama beberapa bulan mendatang. Pasar properti yang terus meluncur turun turut mendorong konsumen menahan diri berbelanja. Sedangkan para produsen terjebak di tengah perang harga yang dideklarasikan oleh Amerika Serikat.
Tekanan yang dialami produsen itu salah satu contoh yang terlihat meluas adalah aksi produsen mobil ramah lingkungan BYD Co. yang memangkas harga hingga 34% pada hampir selusin model mobil listrik dan hibrida plug-in terbarunya. Kebijakan salah satu produsen terlaris di dunia itu disinyalir akan menggelorakan gelombang diskon di pasar kendaraan listrik.
Baca Juga
Meski tidak menyelamatkan China dari deflasi, liburan hari buruh selama 5 hari di awal Mei dan Festival Perahu Naga pada akhir Mei membantu ekonomi China sedikit terjeda dari tekanan. Terdapat sejumlah peningkatan permintaan akibat banyaknya keluarga bepergian dan mengunjungi keluarga.
Dong Lijuan, kepala ahli statistik di NBS menilai penurunan tajam harga produsen disebabkan basis yang tinggi tahun lalu. Produsen juga tertolong penurunan harga global untuk produk minyak dan bahan kimia. Sementara itu, harga batu bara dan bahan baku lainnya di dalam negeri turun karena persediaan yang melimpah, yang selanjutnya menyeret indeks turun.
Meski demikian, risiko dari ketegangan perdagangan dengan AS dapat menghalangi pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat, bahkan ketika kedua negara sepakat untuk melanjutkan pembicaraan setelah panggilan telepon minggu lalu antara Donald Trump dan Xi Jinping. Para negosiator perdagangan utama mereka akan mengadakan pembicaraan baru di London pada hari ini, Senin (9/6/2025), menawarkan secercah harapan bahwa dua ekonomi terbesar di dunia dapat meredakan ketegangan.
Ekonom menyebut, PHK massal dan penurunan pendapatan yang disebabkan oleh tarif AS mengancam ekonomi negara itu. Terutama daya beli domestik, yang berujung produsen dan penyedia layanan memangkas harga.
Robin Xing, Ekonom Morgan Stanley minggu lalu mengatakan deflasi di China akan semakin dalam. Dia menyebut pertumbuhan ekonomi China dapat melambat dengan cepat pada paruh kedua tahun ini. "Dengan ekspor yang lebih lambat dan konsumsi yang lesu," katanya.
Dana Moneter Internasional memproyeksikan inflasi konsumen Tiongkok akan mencapai rata-rata nol tahun ini, yang terendah dari hampir 200 negara yang dicakupnya. Itu akan menjadi proyeksi terlemah bagi China sejak 2009, ketika krisis keuangan global menghantam ekspor.
Survei bulanan terbaru manajer pembelian yang dituangkan dalam PMI manufaktur menunjukkan harga jual produk melemah baik di bidang manufaktur maupun jasa. Pada bulan Mei, tingkat diskonto di sektor jasa mencapai yang paling tajam dalam delapan bulan, menurut laporan minggu lalu dari Caixin dan S&P Global.
Survei Bloomberg baru-baru ini terhadap 67 ekonom juga menunjukkan tekanan deflasi diperkirakan akan semakin buruk di Tiongkok.
Harga konsumen kemungkinan akan naik hanya 0,3% pada tahun 2025 dari tahun lalu, proyeksi terendah sejak Bloomberg mulai melakukan jajak pendapat pada tahun 2023. Harga produsen sekarang diperkirakan akan turun 2% tahun ini, lebih buruk dari 1,8% yang sebelumnya diperkirakan oleh para ekonom, menurut survei tersebut.
China Berburu Pajak Lintas Negara
Laporan Bloomberg sebelumnya juga menyebut, China tengah mengintensifkan upaya untuk memungut pajak atas pendapatan warga negaranya di luar negeri.
Berdasarkan informasi dari sejumlah sumber yang mengetahui masalah tersebut, pada Kamis (5/6/2025), pemerintah China akan memperluas pengawasannya kepada individu menengah atas setelah tahun lalu menargetkan kalangan crazy rich.
Para pejabat kini tengah meneliti berbagai jenis pendapatan luar negeri, termasuk hasil investasi, dividen, dan opsi saham karyawan, menurut sumber-sumber tersebut yang meminta tidak disebutkan namanya karena membahas informasi pribadi. Keuntungan investasi dapat dikenakan pajak hingga 20%.
Penyedia layanan pajak melaporkan lonjakan permintaan dalam beberapa bulan terakhir dari klien dengan aset di bawah US$1 juta. Kebijakan ini merupakan perubahan signifikan dari tindakan keras tahun lalu yang lebih banyak menyasar individu dengan aset minimal US$10 juta.
Penduduk China yang memiliki investasi luar negeri, terutama di saham AS dan Hong Kong, kini menjadi fokus utama otoritas pajak, menurut salah satu sumber. Sementara itu, Administrasi Perpajakan Negara belum menanggapi permintaan komentar.