Bisnis.com, JAKARTA - Di balik terjadinya perlambatan ekonomi, utang luar negeri Indonesia dilaporkan justru meningkat. Bank Indonesia mengumumkan utang luar negeri Indonesia pada triwulan I/2025 mencapai US$430,4 miliar atau sekitar Rp7.144,6 triliun. Jumlah ini meningkat sebesar 6,4% dari triwulan IV/2024 sebesar 4,3%.
Saat ini, total utang pemerintah diprediksi sudah mencapai Rp8.891,55 triliun. Ini adalah hitungan gabungan dari obligasi pemerintah, tanpa SBN yang tidak dapat diperjualbelikan dan tanpa pinjaman dalam negeri, ditambah dengan pinjaman luar negeri.
Jumlah utang luar negeri ini akan lebih besar bila menggunakan obligasi pemerintah termasuk SBN non-tradeable, tanpa pinjaman dalam negeri, ditambah dengan pinjaman luar negeri yang akan menghasilkan total outstanding utang pemerintah senilai Rp9.057,96 triliun. Angka tersebut lebih tinggi Rp148,83 triliun dari posisi utang pemerintah di akhir Januari 2025.
Secara statistik, rasio utang Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) masih aman, yakni terjaga sebesar 30,6%. Angka ini masih jauh dari ambang batas aman 60%. Selain itu, utang luar negeri Indonesia juga didominasi utang jangka panjang dengan pangsa mencapai 84,7% dari total utang.
Meski diklaim masih terjaga dan dalam batas aman, tetapi kenaikan utang luar negeri yang terus terjadi beberapa tahun terakhir tentu perlu disikapi dengan hati-hati.
Pemerintah menyatakan berkomitmen untuk menjaga kredibilitas dengan mengelola utang luar negeri secara hati-hati, terukur, dan akuntabel dalam rangka mewujudkan pembiayaan yang efisien dan optimal. Cuma yang menjadi masalah sampai sejauhmana daya tahan ekonomi Indonesia jika beban utang luar negeri terus meningkat, sementara sumber-sumber pemasukan anggaran pembangunan justru turun?
Sejumlah Resiko
Untuk memastikan agar utang luar negeri benar-benar memberikan manfaat bagi perkembangan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, Bank Indonesia dan pemerintah selama ini terus memperkuat koordinasi dalam pemantauan perkembangan utang tersebut. Berbagai upaya dilakukan dengan berusaha meminimalkan risiko yang dapat memengaruhi stabilitas perekonomian.
Pada saat kondisi ekonomi nasional berkecukupan, pemerintah tentu akan menghindari masuk dalam perangkap utang luar negeri yang membebani. Tetapi lain soal ketika pengeluaran negara untuk membiayai program-program pembangunan meningkat dan tidak mampu di-cover anggaran yang ada. Kebutuhan untuk mendukung pembiayaan defisit anggaran, mau tidak mau akan mendorong pemerintah terpaksa harus meminjam ke luar negeri.
Bagi pemerintah Indonesia, mengandalkan pada utang luar negeri tidak terelakkan, karena dibutuhkan untuk mengatasi ancaman krisis keuangan dan inflasi. Pemerintah meminjam utang luar negeri, terutama untuk meningkatkan kapasitas fiskal, yakni kemampuan negara untuk mengumpulkan dan menyediakan dana pembangunan yang cukup.
Persoalannya sekarang ketika utang luar negeri terus meningkat, apakah resiko yang harus ditanggung Indonesia untuk memenuhi kewajiban membayar cicilan utang dan utang utama yang jatuh tempo? Kenaikan beban bunga dan kewajiban membayar utang pokok jelas akan memengaruhi kemampuan anggaran negara. Alih-alih penarikan utang luar negeri akan meningkatkan kemampuan negara membiayai pelaksanaan program pembangunan, justru yang terjadi malah sebaliknya.
Belajar dari pengalaman negara-negara yang utang luar negerinya terlampau besar, maka resiko devaluasi bukan tidak mungkin akan terjadi. Utang luar negeri yang terus meningkat akan menyebabkan tekanan pada nilai tukar rupiah juga ikut meningkat, sehingga melahirkan devaluasi. Banyak bukti menunjukkan, ketika sebuah negara memilih mencetak uang untuk membayar utang, maka di saat yang sama niscaya akan terjadi inflasi.
Kerentanan terhadap gangguan dan guncangan ekonomi global niscaya akan meningkat ketika negara memiliki ketergantungan pada utang luar negeri.
Bisa dibayangkan apa yang terjadi ketika APBN sebagian dipakai untuk membiayai kewajiban membayar cicilan dan utang pokok luar negeri? Langsung maupun tidak, hal ini akan membatasi kemampuan negara melakukan investasi pada pembangunan ekonomi, seperti pembangunan infrastruktur, pendidikan dan kesehatan.
Pos-pos anggaran yang seharusnya dialokasikan untuk membiayai program pembangunan menjadi berkurang, karena dipakai untuk membayar utang luar negeri.
Di sisi yang lain, ketika negara terlambat membayar cicilan utang dan tidak mampu memenuhi kewajiban membayar utang, maka resiko keterlambatan akan dapat merusak reputasi negara dan membatasi peluang negara untuk mendapatkan pinjaman di masa depan. Dilema seperti inilah, cepat atau lambat akan dihadapi Indonesia bila tidak dilakukan mekanisme pengelolaan yang benar-benar tepat.
Pelemahan Rupiah
Risiko peningkatan utang luar negeri sesungguhnya bukan pada hanya pada kenaikan besaran nominalnya, tetapi juga pada dampaknya terhadap resiliensi ekonomi Indonesia menghadapi berbagai tekanan. Untuk jangka pendek, memang cara yang realistik untuk menambal kebutuhan pembiayaan pelaksanaan program-program pembangunan adalah melalui penarikan utang luar negeri.
Reputasi Indonesia yang relatif baik dalam pengembalian utang luar negeri membuka kesempatan bagi kita untuk dapat mencari sumber-sumber pendanaan di luar negeri. Berbagai lembaga donor dan negara-negara maju sejauh ini masih mempercayai Indonesia dalam pemberian fasilitas utang luar negeri. Walaupun harus menghadapi jalan yang berliku dan menghadapi ancaman defisit anggaran, Indonesia masih mampu memenuhi kewajibannya membayar cicilan dan utang pokok luar negeri.
Saat ini, memang pelemahan rupiah yang tengah dialami Indonesia akan berpotensi menambah beban dan tekanan kewajiban pembayaran utang luar negeri maupun obligasi global. Ketika nilai tukar rupiah turun, sementara nilai tukar dolar AS naik, maka risikonya besaran utang yang harus kita bayar menjadi meningkat pula. Pada 2025 ini, utang luar negeri yang jatuh tempo diperkirakan mencapai Rp800,33 triliun.
Jumlah itu terdiri atas Rp705,5 triliun dalam bentuk SBN dan Rp94,83 triliun dalam bentuk pinjaman. Kenaikan kewajiban membayar utang luar negeri, niscaya akan semakin mempersempit ruang fiskal pemerintah, sehingga akan menurunkan alokasi anggaran untuk pembangunan dan stimulus ekonomi.
Berusaha melakukan restrukturisasi utang luar negeri adalah salah satu solusi yang mungkin ditempuh. Tetapi, harus diakui hal ini sulit terwujud karena semua negara kini tengah menghadapi ancaman krisis ekonomi.
Ke depan, yang bisa kita harapkan adalah komitmen pemerintah yang benar-benar kuat untuk mengurangi hasrat dan ketergantungan pada utang luar negeri. Memastikan semaksimal mungkin utang luar negeri dan mencegah praktik korupsi adalah prasyarat lain yang dibutuhkan agar utang luar negeri tidak kontra-produktif.