Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Agung Sudjatmoko

Ketua Harian Dekopin (Hasil Munas Ancol) & Dosen PTS di Jakarta

Lihat artikel saya lainnya

OPINI : Masih Menyoal Kopdes Merah Putih

Keberhasilan koperasi membutuhkan modal sosial, trust, dan kebersamaan, adalah pengelola-pengelola yang profesional dan mempunyai kompetensi tinggi.
Logo Kementerian Koperasi (Kemenkop) / Istimewa
Logo Kementerian Koperasi (Kemenkop) / Istimewa

Bisis.com, JAKARTA - Diskursus ma­­­­sa­­­lah kebijakan pembentukan Koperasi Desa Merah Putih (Kopdes MP) belum reda. Pro dan kontra masih muncul dari berbagai lapisan masyarakat, bahkan sampai di tingkat komunitas ‘wong cilik’. Tetapi pemerintah seakan yakin dengan kebi­­­jak­­an yang menyalahi ‘kodrat’ mendirikan koperasi secara universal.

Diskursus ma­­­­sa­­­lah kebijakan pembentukan Koperasi Desa Merah Putih (Kopdes MP) belum reda. Pro dan kontra masih muncul dari berbagai lapisan masyarakat, bahkan sampai di tingkat komunitas ‘wong cilik’. Tetapi pemerintah seakan yakin dengan kebi­­­jak­­an yang menyalahi ‘kodrat’ mendirikan koperasi secara universal.

Para penggiat koperasi ter­masuk saya merasa ini pemerintah membuat kebijakan menggunakan kendaraan ko­­perasi suatu kesalahan besar. Banyak kebijakan yang sama sebelumnya tidak sukses mengangkat citra koperasi sebagaimana praktik koperasi di negara lain. Kasus BUUD/KUD pada era Orde Baru menjadi sejarah buruk saat pemerintah Presiden Suharto tumbang.

Berbagai masalah muncul dan banyak KUD yang mati serta meninggalkan hutang, ketidakjelasan kepemilikan aset, kasus penyimpangan dana, serta meninggalkan citra buruk di masyarakat.

Jujur harus diakui ada juga cerita KUD yang berhasil sampai hari ini dalam mengelola organisasi dan bisnisnya. Sejarah koperasi khususnya KUD pernah dijadikan sebagai kebijakan pemerintah mendukung program swasembada pangan, yang mengantarkan Indonesia swasembada pangan era 1980-an dan mendapatkan penghargaan sejati dari FAO karena dapat mengentaskan Indonesia dari negara pengimpor beras terbesar dunia menjadi pengekspor beras pada era Orba.

Suharto membangun pertanian Indonesia karena kemelaratan, kesulitan pangan dan jumlah penduduk yang besar. Dengan kekuatan kekuasaan sentralistik presiden akhirnya mampu membangun pertanian dan KUD menjadi motor penggerak yang diberikan privilege untuk menyalurkan saprotan (sarana produksi pertanian) dan saprodi (sarana produksi padi).

Kebijakan membangun bendungan, irigasi, diterjunkan penyuluh pertanian, dibentuk klompencapir, digencarkan sosialisasi melalui media radio dan televisi dilakukan. Target tegas dan jelas diberikan kepada pemerintah desa, kecamatan, kabupaten/kota dan semua instansi pemerintah untuk menyukseskan program swasembada pangan saat itu.

Sementara itu, cerita lain program pembangunan ekonomi rakyat yang menggunakan koperasi dengan pendekatan top down di beberapa provinsi dan kabupaten kota menyisakan kegagalan dan menjadi ‘beban buruk’ citra koperasi. Koperasi wanita di Jawa Timur era Gubernur Soekarwo, Program ‘Satu Koperasi Satu Desa’ di Sulawesi Selatan dan NTT tinggal cerita. Koperasi RT/RW di beberapa kabupaten/kota juga mengalami kegagalan yang sama. Pengamatan empirik tingkat keberhasilan koperasi dengan model top down seperti ini tidak lebih dari 1%.

Semua koperasi yang diinisiasi oleh pemerintah dengan pendekatan top down dan formalistik gagal karena tidak menumbuhkan kesadaran dan tanggung jawab sosial, kebersamaan, kegiatan koperasi hanya berorientasi fasilitas pemerintah, tidak ada kreativitas apalagi inovasi, cenderung membunuh partisipasi anggota, tidak mengakomodasi kepentingan sosial ekonomi, serta berbagai antitesa dari prinsip pendirian koperasi yang membangun keswadayaan dan kemandirian.

Soal Pengurus Koperasi

Kebijakan yang lucu muncul dari salah seorang menteri yang membolehkan pensiunan dan pengangguran di desa untuk menjadi pengurus atau pengelola koperasi. Ini juga sebagai ungkapan yang tidak masuk akal dan tidak paham tentang koperasi dan bagaimana mengelolanya. Catatan keras saya, keberhasilan koperasi selain membutuhkan modal sosial, trust, dan kebersamaan, adalah pengelola-pengelola yang profesional, kreatif, inovatif, serta mempunyai kompetensi tinggi dalam bidang organisasi dan bisnis koperasi.

Presiden jangan mengulang membuat kebijakan yang menjadikan koperasi sebagai koperasi pedati (hadir dengan beban berat, tanpa kemampuan profesional dalam mengelola bisnis dan organisasi) atau koperasi merpati (koperasi yang hadir karena kebijakan pemerintah artinya koperasi didirikan oleh para avonturir yang tidak mempunyai kemampuan mengelola koperasi).

Sebagai penggerak koperasi saya memberikan solusi yang realistik. Pertama, jangan menambah citra buruk koperasi dengan mendirikan Koperasi Desa Merah Putih, apalagi dengan menyeragamkan nama, karena apapun dalihnya, itu politisasi koperasi dan dipastikan akan tidak berhasil.

Kedua, jumlah koperasi di negeri ini terbanyak di dunia sampai 2023, ada 131.617 dengan 30 juta anggota, maka lebih cerdas dibuat kebijakan membuat klaster koperasi baik skala usaha maupun kekuatan sektor usahanya.

Setelah itu, alokasikan dana sebesar Rp400 triliun tersebut untuk memperkuat bisnis koperasi berdasarkan kluster skala dan sektor usahanya sehingga menjadi pelaku ekonomi yang dominan untuk melayani anggota, atau masyarakat serta meningkatkan jumlah anggota yang ditargetkan Kemenkop 2029 menjadi 65 juta.

Tidak diperlukan juga Rp400 triliun itu digelontorkan ke koperasi-koperasi yang sudah ada, tetapi sebagian dibuat untuk: pertama, membangun ekosistem pembangunan koperasi tingkat nasional dan global dengan berbagai kebijakan dan program strategis yang terarah dan terukur; kedua, membentuk lembaga pembiayaan pengembangan bisnis koperasi, karen bisnis koperasi mempunyai karakteristik khusus; ketiga, membangun tata niaga dan akses pasar bagi koperasi; keempat, memperkuat kualitas profesionalisme pengelola koperasi; kelima, memperkuat transformasi teknologi termasuk teknologi digital di koperasi.

Jika jalan ini yang ditempuh oleh Pak Presiden, maka arah keberhasilan kebijakan akan lebih cepat tercapai, karena koperasi existing yang diperkuat keberdayaannya sudah mempunyai best practice dalam mengelola organisasi dan bisnis berbasis anggota di tengah persaingan yang ada.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper