Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Yusuf Rendy Manilet

Peneliti Center of Reform on Economics

Lihat artikel saya lainnya

OPINI : Paradoks Efisiensi Anggaran

Dibandingkan periode yang sama tahun lalu, belanja pemerintah mengalami kontraksi 1,38% secara tahunan (year-on-year)
Pegawai menyortir uang rupiah di cash center atau pusat kas BNI di Jakarta, Selasa (4/2/2025). Bisnis/Himawan L Nugraha
Pegawai menyortir uang rupiah di cash center atau pusat kas BNI di Jakarta, Selasa (4/2/2025). Bisnis/Himawan L Nugraha

Bisnis.com, JAKARTA - Rilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada awal April 2025 memberi sinyal yang tak bisa diabaikan: pertumbuhan komponen belanja pemerintah melambat signifikan pada kuartal I/2025.

Dibandingkan periode yang sama tahun lalu, belanja pemerintah mengalami kontraksi 1,38% secara tahunan (year-on-year), jauh lebih rendah dari capaian 19,90% pada kuartal I/2024. Perlambatan ini tentu bukan sekadar angka statistik, angka ini mencerminkan lemahnya dorongan fiskal di saat perekonomian nasional membutuhkan stimulan dari negara.

Fenomena ini tidak terlepas dari kebijakan efisiensi anggaran yang dituangkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 1 Tahun 2025. Perpres tersebut mewajibkan seluruh kementerian/lembaga (K/L) dan pemerintah daerah (pemda) untuk menyisir ulang anggarannya, membatalkan kegiatan yang dianggap tidak prioritas, dan merealokasikan anggaran ke sektor strategis.

Tujuannya mulia untuk memastikan setiap rupiah yang dibelanjakan membawa dampak maksimal bagi masyarakat. Namun, dalam praktiknya, kebijakan ini malah menimbulkan konsekuensi yang tak diantisipasi dalam bentuk tertundanya belanja dan mandeknya aktivitas ekonomi di awal tahun.

Proses penyisiran anggaran yang dilakukan pun memerlukan waktu yang tidak sebentar. Banyak satuan kerja di kementerian dan daerah harus menunggu arahan teknis, merevisi dokumen perencanaan, hingga menyesuaikan ulang kontrak kegiatan. Akibatnya, belanja pemerintah yang seharusnya sudah mulai mengalir sejak triwulan pertama, tertahan di meja birokrasi. Realokasi yang diharapkan menjadi lebih strategis pun belum berjalan optimal.

Ini bukan kali pertama efisiensi anggaran menimbulkan dilema. Pada tahun 2016 pemerintah melakukan pemangkasan anggaran hingga Rp64,71 triliun demi menjaga defisit. Hasilnya, pertumbuhan belanja pemerintah pada PDB mengalami kontraksi sampai 0,14% jauh lebih rendah dibandingkan pencapaian tahun sebelumnya yang mencapai 5,31%.

Pengalaman tersebut menunjukkan bahwa efisiensi fiskal yang dilakukan secara tergesa, tanpa strategi fiskal yang matang, justru bisa menggerus daya dorong ekonomi, terutama dalam jangka pendek.

Kondisi ini kembali tercermin tahun ini. CORE Indonesia melakukan revisi proyeksi pertumbuhan ekonomi 2025, dari sebelumnya berada di kisaran 4,8%—5,0% menjadi ‘hanya’ 4,6%—4,8%. Salah satu penyebab utama revisi ini adalah perlambatan belanja pemerintah yang seharusnya bisa menjadi motor penggerak ekonomi, terutama di tengah investasi swasta yang masih konservatif dan konsumsi rumah tangga yang belum sepenuhnya pulih.

AKTIFKAN STIMULUS

Oleh karena itu, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerintah perlu mengaktifkan kembali kebijakan fiskal sebagai instrumen stimulus. Dalam konteks ini, rencana pemerintah untuk membuka blokir anggaran merupakan kebijakan yang tepat. Namun, penting untuk memastikan bahwa pembukaan blokir tersebut difokuskan pada pos-pos yang memiliki efek berganda terhadap perekonomian.

Dalam jangka pendek, prioritas sebaiknya diberikan kepada program-program yang secara langsung menopang daya beli masyarakat. Bantuan sosial (bansos), subsidi energi, dan dukungan bagi UMKM merupakan contoh nyata dari belanja yang langsung menyentuh kehidupan masyarakat sehari-hari. Sementara itu, dalam jangka menengah hingga panjang, pemerintah perlu tetap konsisten mengalokasikan anggaran pada sektor-sektor fundamental. Pembangunan sumber daya manusia, layanan kesehatan, pendidikan, serta infrastruktur yang produktif harus menjadi prioritas utama.

Meskipun demikian, semua rencana mendorong belanja ini tentu memerlukan ruang fiskal yang memadai. Di sinilah letak tantangan utama, bagaimana pemerintah kemudian dapat meningkatkan penerimaan negara secara berkelanjutan tanpa membebani kelompok masyarakat berpenghasilan rendah. Untuk itu, salah satu pendekatan yang layak dipertimbangkan adalah penerapan windfall tax. Sektor-sektor seperti pertambangan, energi, dan kelapa sawit sering kali memperoleh keuntungan besar akibat kenaikan harga komoditas global. Dalam situasi seperti itu, negara memiliki dasar yang kuat untuk menarik sebagian dari laba luar biasa tersebut guna membiayai belanja publik yang berdampak luas.

Di sisi lain, memperkuat pengawasan terhadap praktik penghindaran pajak juga tak kalah penting. Salah satunya melalui penerapan batas minimum pembayaran pajak efektif (minimum effective tax rate) bagi korporasi besar, agar kontribusi mereka terhadap kas negara menjadi lebih proporsional tanpa harus menaikkan tarif secara eksplisit. Dengan begitu, penerimaan negara bisa ditingkatkan secara adil dan terukur, menopang belanja pemerintah tanpa menciptakan tekanan berlebih pada kelompok masyarakat rentan.

Langkah-langkah ini memang tidak akan menghasilkan lonjakan penerimaan dalam semalam. Namun, bisa menjadi opsi setidaknya dalam jangka pendek hingga menengah. Lebih dari itu, strategi semacam ini memberi pesan yang jelas bahwa negara hadir tidak hanya untuk mengatur pengeluaran, tetapi juga untuk memastikan pembiayaan pembangunan dilakukan secara adil dan merata.

Pada akhirnya, efisiensi anggaran adalah langkah penting, tapi bukan satu-satunya jawaban. Dalam konteks ekonomi yang tengah mencari momentum, efektivitas belanja jauh lebih mendesak. Pemerintah harus mampu menyeimbangkan antara menjaga disiplin fiskal dan tetap proaktif dalam belanja produktif. Strategi fiskal yang cermat, dengan tata kelola yang baik dan sumber pendanaan yang berkelanjutan, akan menjadi fondasi utama agar efisiensi tidak berimplikasi pada perlambatan ekonomi. Sebab dalam dimensi ekonomi tertentu, terlalu hemat di waktu yang salah bisa lebih merugikan daripada terlalu boros di waktu yang tepat.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper